Lembaga:

Dukung kami dengan donasi melalui Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58 a.n. Yayasan Fahmina

Manusia Sebagai Makhluk Seksual

Oleh: Dr. Hc. KH. husein Muhammad

Manusia di samping makhluk berpikir ia juga adalah makhluk biologis-seksual seperti juga binatang. Tuhan memberinya naluri-naluri dan hasrat-hasrat seksual untuk kesenangan diri dan memungkinkan dia mengembangbiakkan keturunan (bereproduksi). Untuk keperluan ini Tuhan menciptakan alat-alat reproduksi baik pada laki-laki maupun perempuan.

Naluri dan hasrat seksual merupakan sesuatu yang melekat (kodrati) baik pada laki-laki maupun perempuan. Tingkat kekuatan dan kelemahan hasrat libido ini juga relatif antara laki-laki dan perempuan. Ada laki-laki yang lebih kuat dan ada perempuan yang lebih kuat. Naluri dan hasrat seksual adalah anugerah Tuhan.

Imam Al Ghazali (w.1111 M) mengatakan : “Tuhan menciptakan rahim. Dia menciptakan organ untuk bersenggama. Dia menempatkan benih anak-anak di dalam tubuh laki-laki dan perempuan. Dia memberi nafsu seksual kepada laki-laki dan perempuan. Tidak ada orang yang berakal yang tidak dapat menangkap apa yang dimaksudkan Tuhan dengan semua ini”.(Baca : Sachiko Murata, The Tao of Islam, hlm. 233).

Meskipun hasrat seksual adalah inheren pada manusia, akan tetapi Tuhan menetapkan aturan-aturan yang membedakan manusia dari binatang dan yang menjadikannya terhormat. Menurut Islam penyaluran hasrat atau nafsu seksual hanya dapat dibenarkan melalui pernikahan (perkawinan). Islam tidak membenarkan penyaluran seksual tersebut dengan jalan promiskuitas (hubungan seks bebas).

Hubungan seks bebas hanya berlaku bagi binatang. Islam mengharamkannya dan keharaman seks bebas ini masuk dalam wilayah “ma’lum min al din bi al dharurah”. Yakni aturan yang mutlak dalam setiap agama. Pada sisi yang lain, Islam juga tidak menganjurkan, meskipun boleh, hidup membujang (tidak menikah) dan membuang benih-benih kehidupan manusia dengan sia-sia.

Dalam sebuah hadits Nabi saw. dinyatakan : “Wahai kaum muda/remaja, jika kamu telah berhasrat untuk menikah dan memiliki kesiapan untuk itu, maka hendaklah menikah, karena dengan begitu ia akan terjaga pikiran dan alat kelaminnya”.

Hukum pernikahan tergantung pada kondisi masing-masing orang. Bagi yang sudah “kebelet” dan takut terjerumus dalam pelacuran, menjadi wajib, bagi yang sudah kebelet dan punya bekalnya, nikah menjadi sunnah, jika tidak punya bekal, makruh, jika tidak begitu kebelet dan lebih memilih ibadah, nikah menjadi boleh saja (mubah) dan bagi yang “kepengen” tapi dia yakin akan menyakiti isterinya, nikah menjadi haram. []

Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58 a.n. Yayasan Fahmina

Terkait

Pesan Alissa Wahid tentang Menikah: Tafsir Ulama Perempuan atas Kesiapan dan Kemandirian

Oleh: Bryan Putra Anugerah* Pernikahan bukan sekadar tangga sosial, melainkan komitmen yang lahir dari kesiapan jiwa dan kesadaran penuh akan...

Populer

Artikel Lainnya