Lembaga:

Dukung kami dengan donasi melalui Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58 a.n. Yayasan Fahmina

Kartini di Era Digital: Habis Gelap, Terbitlah Algoritma

Oleh: Kamilia Hamidah*

Perkembangan teknologi informasi telah membawa perubahan besar dalam pola komunikasi masyarakat. Internet memungkinkan siapa pun, di mana pun, untuk berinteraksi secara cepat dan lintas batas—baik geografis, sosial, maupun keagamaan. Dalam pandangan Marshall McLuhan, media bukan hanya saluran komunikasi, tetapi juga perpanjangan dari indera manusia yang membentuk cara berpikir, berperilaku, dan berbudaya. Ketergantungan terhadap teknologi melahirkan tatanan masyarakat baru, yang ditentukan oleh sejauh mana individu mampu mengakses dan memanfaatkan teknologi informasi.

Era digital menghadirkan media yang interaktif dan konvergen. Media tidak lagi terbatas pada televisi, radio, atau koran, tetapi mencakup berbagai platform daring—dari media sosial hingga aplikasi pesan instan—yang memperkuat fungsi inderawi dan partisipatif manusia. Perubahan ini tidak sekadar menggeser pola komunikasi, tetapi juga merevolusi cara manusia memproduksi, menyebarkan, dan mengonsumsi informasi.

Namun, kemudahan akses tersebut tidak selalu diiringi dengan kemampuan berpikir kritis. Nicholas Carr dalam The Shallows: What the Internet Is Doing to Our Brains mengingatkan bahwa internet bisa memicu pendangkalan berpikir: masyarakat tahu banyak hal, tapi hanya di permukaan. Disinformasi, misinformasi, ujaran kebencian, hingga radikalisme digital menjadi konsekuensi nyata dari literasi digital yang belum matang. Budaya digital mengubah masyarakat dari pasif menjadi partisipatif, dari sekadar konsumen informasi menjadi produsen informasi. Perubahan ini menuntut adaptasi, bukan hanya dalam aspek teknis, tetapi juga nilai dan etika, agar masyarakat digital tidak terperosok ke dalam budaya instan yang dangkal dan mudah terprovokasi.

Ruang digital sejatinya bukan ruang netral. Ia membawa nilai, membentuk opini, bahkan menjadi arena baru bagi pertarungan ideologi dan tafsir keagamaan. Di sinilah pentingnya kehadiran narasi keagamaan yang mencerahkan, humanis, dan inklusif. Masyarakat digital Indonesia yang mayoritas religius kerap menjadi sasaran narasi keagamaan eksklusif, konservatif, bahkan ekstrem. Narasi ini sering kali disebarkan oleh figur-figur digital yang memiliki otoritas sosial, tetapi minim legitimasi keilmuan.

Sayangnya, dalam lanskap digital ini, kehadiran ulama perempuan masih sangat terbatas. Padahal, sejarah Islam mencatat kontribusi penting perempuan dalam pengembangan ilmu dan dakwah. Kesenjangan digital berbasis gender memperburuk keadaan—perempuan seringkali kurang memiliki akses, keterampilan, maupun ruang untuk menyuarakan perspektif keagamaannya secara luas.

Dalam konteks ini, Hari Kartini menjadi momen reflektif. Kartini bukan sekadar simbol emansipasi, melainkan representasi semangat pencarian ilmu, kebebasan berpikir, dan keberanian bersuara di tengah keterbatasan zamannya. Semangat ini perlu dihidupkan kembali oleh para ulama perempuan masa kini—bukan hanya di ruang fisik, tapi juga di ruang digital, yang kini menjadi medan strategis dalam membentuk arah keberagamaan masyarakat.

Kehadiran ulama perempuan di dunia maya bukan sekadar pelengkap, melainkan sebuah kebutuhan mendesak. Dengan pengalaman keperempuanan, sensibilitas terhadap isu sosial, serta pendekatan tafsir yang kontekstual, ulama perempuan mampu menjadi pengimbang narasi patriarkis, pelurus disinformasi, dan pelindung kelompok rentan dari kekerasan simbolik di ruang digital.

Agar efektif, kehadiran mereka perlu didukung dengan penguatan kapasitas, jejaring, dan strategi dakwah yang kontekstual. Ulama perempuan tidak hanya harus menguasai ilmu agama, tetapi juga literasi digital, komunikasi publik, serta memahami algoritma media sosial yang menentukan jangkauan pesan. Literasi digital menjadi langkah awal yang krusial, disusul dengan kolaborasi lintas komunitas—jurnalis, akademisi, aktivis, hingga influencer—untuk memperluas dampak dakwah yang mereka bangun.

Penting pula untuk mengemas pesan keagamaan dalam format yang menarik dan kredibel, seperti video pendek, infografis, podcast, hingga thread edukatif. Branding digital yang otoritatif sekaligus ramah, serta penyusunan panduan etika dakwah digital akan menjadi fondasi bagi dakwah yang beradab dan maslahat.

Semangat Kartini adalah semangat melampaui batas. Kini, batas itu hadir dalam bentuk kesenjangan digital, dominasi narasi patriarkis, dan maraknya disinformasi keagamaan. Meneruskan jejak Kartini hari ini berarti memperkuat eksistensi ulama perempuan di ruang digital—bukan hanya untuk ikut serta, tetapi untuk memimpin, mengarahkan, dan menjaga wajah keberagamaan masyarakat dari kedangkalan dan kekerasan simbolik.

Dunia maya bukan sekadar ruang baru, melainkan medan dakwah yang menuntut strategi baru, narasi baru, dan tokoh baru. Ulama perempuan harus siap mengambil peran ini—meneruskan perjuangan Kartini dalam versi yang lebih digital, lebih kontekstual, dan lebih membebaskan.

Selamat Hari Kartini!

*Penulis merupakah ulama perempuan, alumni Dawrah Kader Ulama Perempuan (DKUP) Fahmina

Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58 a.n. Yayasan Fahmina

Terkait

Pesan Alissa Wahid tentang Menikah: Tafsir Ulama Perempuan atas Kesiapan dan Kemandirian

Oleh: Bryan Putra Anugerah* Pernikahan bukan sekadar tangga sosial, melainkan komitmen yang lahir dari kesiapan jiwa dan kesadaran penuh akan...

Populer

Artikel Lainnya