Oleh: Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm.
Anggota Majelis Musyawarah KUPI, Dosen Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Universitas PTIQ & Manager Akademik PKUMI Masjid Istiqlal
Perempuan dan ruang publik kerap menjadi topik hangat dalam diskursus Islam kontemporer. Masih banyak umat Muslim yang mempertanyakan: Apakah keterlibatan perempuan di ruang publik sejalan dengan ajaran Islam? Bukankah tempat terbaik perempuan adalah rumah?
Dalam Siraman Ruhani Masjid Istiqlal, Selasa 25 Maret 2025 (26 Ramadhan 1446 H), Dr. Nur Rofiah memberikan refleksi mendalam atas tema ini. Ia memulai dengan menegaskan bahwa Al-Qur’an hadir bukan hanya merespons konteks lokal Arab pra-Islam, melainkan sebagai pedoman universal bagi peradaban manusia sepanjang masa.
Akar Historis Peran Perempuan di Ruang Publik
Sejarah Islam mencatat banyak perempuan yang aktif di ruang publik. Sayyidah Khadijah adalah pebisnis ulung, Sayyidah Aisyah adalah guru para sahabat, dan Sayyidah Nusaibah bahkan menjadi panglima perang. Dalam sejarah Nusantara, kita mengenal empat sultanah Aceh, Rahmah el-Yunusiyah di Sumatra Barat, dan Nyai Khoiriyah di Jawa Timur—semuanya memegang peran strategis dalam dakwah dan pendidikan.
Kritik Al-Qur’an terhadap Kekuasaan yang Menindas
Al-Qur’an mengecam sistem yang membenarkan penindasan terhadap kelompok lemah (mustadl’afin), termasuk perempuan. Contohnya penguburan bayi perempuan hidup-hidup di Arab, mutilasi alat kelamin perempuan di Afrika, atau tradisi Sati di India.
Pandangan bahwa perempuan hanyalah “harta laki-laki” telah melegitimasi kontrol atas tubuh dan ruang gerak mereka. Dari sinilah lahir norma bahwa “tempat terbaik bagi perempuan adalah di rumah”—karena rumah dianggap tempat menyimpan harta.
Deklarasi Kemanusiaan: QS. Al-Hujurat Ayat 13
Ayat ini menggarisbawahi bahwa kemuliaan manusia tidak ditentukan oleh jenis kelamin atau suku, tetapi oleh taqwa, yang salah satu indikatornya adalah keadilan. Maka, semua manusia—termasuk perempuan—berhak menjalankan mandat sebagai Khalifah fil Ardl, dengan misi mewujudkan kemaslahatan dan keadilan di muka bumi.
Pemaknaan Ulang QS. An-Nisa Ayat 34
Ayat ini kerap dijadikan dalih untuk melarang kepemimpinan perempuan. Namun, Dr. Nur Rofiah mengutip penelitian Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, yang menunjukkan bahwa kata ar-rijal dan an-nisa di sini merujuk pada konstruksi sosial yang berhubungan dengan kekuatan dan tanggung jawab. Siapa pun yang memiliki kapasitas dan kapabilitas—tanpa memandang jenis kelamin—berhak menjadi pemimpin.
Kepemimpinan Kolektif dalam Islam: QS. At-Taubah Ayat 71
Ayat ini menegaskan prinsip kemitraan antara laki-laki dan perempuan dalam menegakkan amar makruf nahi munkar. Kepemimpinan tidak bersifat hierarkis atau berbasis gender, melainkan berbasis tanggung jawab moral dan spiritual.
Jika perempuan dipandang sebagai manusia seutuhnya—makhluk berakal budi dan pemikul mandat kekhalifahan—maka tempat terbaik bagi perempuan bukan semata rumah, melainkan di manapun ia bisa mewujudkan kemaslahatan.
Pertanyaannya kini bukan lagi apakah peran publik perempuan bertentangan dengan Islam, tetapi: Apakah pandangan yang melarangnya bertentangan dengan nilai-nilai Al-Qur’an dan teladan Nabi? []