Oleh: Dr. KH. Faqihuddin Abdul Kodir*
Untuk pertama kalinya dalam pengalaman saya memfasilitasi pelatihan NGO, seluruh sesi saya buka dan tutup dengan doa—bukan sekadar formalitas, melainkan sebagai ajakan untuk merefleksikan makna terdalam dari setiap lantunan yang diucap. Doa menjadi pintu masuk bagi sesi tentang Mubadalah, sebuah konsep relasi kesalingan dan kerjasama antara laki-laki dan perempuan. Ada getaran batin yang sulit saya lukiskan saat berdiri di hadapan para perempuan penggerak Melayu Muslim pada 25–27 April 2025 di Kuala Lumpur. Mereka adalah 20 perempuan tangguh yang datang dengan keberanian dan kerinduan yang sama: menjadi pelita bagi keluarga dan komunitas mereka.
Retorika Doa
Kami memulai sesi dari pagi hingga sore dengan doa yang akrab di bibir setiap Muslim:
“Rabbana hab lana min azwajina wa dzurriyyatina qurrata a’yun, waj’alna lil muttaqina imama.”
Doa ini menyimpan visi besar tentang keluarga dan masyarakat: permohonan kepada Allah Swt. agar pasangan dan keturunan menjadi penyejuk mata (qurrata a’yun), dan agar kita dijadikan pemimpin bagi orang-orang bertakwa. Namun sayangnya, doa yang begitu akrab ini sering kali menjadi rutinitas, tanpa pemaknaan mendalam akan ruh yang terkandung di dalamnya—ruh yang menyeru untuk membangun relasi kesalingan.
Saya mengajukan pertanyaan: Pernahkah kita bertanya, mengapa kita memohon agar pasangan dan keturunan menjadi penyejuk mata? Apa artinya penyejuk mata? Bagaimana mewujudkannya? Apa peran suami terhadap istri, dan sebaliknya? Mengapa selama ini beban untuk membahagiakan dan menyenangkan sering kali hanya dibebankan pada perempuan?
Lebih jauh, tidakkah kita menyadari bahwa doa ini juga memohon agar dijadikan imam, pemimpin bagi orang-orang bertakwa? Jika doa ini dilantunkan oleh perempuan, bukankah itu berarti Islam—melalui doa yang termaktub dalam Al-Qur’an ini—mendorong perempuan untuk menjadi pemimpin, penggerak, dan penopang kebaikan?
Apakah doa ini cukup dilafalkan? Ataukah ia juga merupakan panggilan untuk menciptakan ekosistem yang mendukung perempuan agar bisa menjadi pemimpin sebagaimana diminta dalam doa itu?
Saya mengajak para peserta merenungkannya. “Pernahkah kalian mendengar penafsiran doa ini dengan cara seperti ini?” tanyaku. Serempak mereka menjawab, “Tidaaak.” Lalu aku bertanya lagi, “Siapkah kita mengamalkan makna doa ini?” Seketika ruangan menjadi hening.
Melihat keraguan di wajah-wajah mereka, aku setengah berseloroh namun bersungguh-sungguh berkata, “Kalau tidak siap, saya pulang ke Indonesia sekarang, dan kita tutup saja pelatihan ini.” Mendadak mereka menjawab lantang, “Siaaap!” Suara itu menggema dan membakar semangat di dada saya.
Refleksi Kesalingan
Dalam beberapa jam ke depan, kami memecah kebekuan pemahaman tekstual, membuka kembali pesan-pesan Islam melalui kaca mata Mubadalah—perspektif kesalingan dan kerjasama setara antara laki-laki dan perempuan. Kami merenungkan ayat tentang penciptaan manusia dari satu substansi yang sama, nafsun wahidah (QS. Al-A’raf: 189), dan ayat bahwa laki-laki dan perempuan mukmin adalah pelindung satu sama lain (QS. At-Taubah: 71).
Ayat-ayat ini menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan adalah subjek penuh dari misi rahmatan lil ‘alamin dan akhlak karimah. Mereka sama-sama pelaku dan penerima kebaikan, bertanggung jawab membangun kehidupan yang adil dan bermartabat.
Kami juga membedah sejumlah hadis, seperti “Sebaik-baik laki-laki adalah yang berbuat baik kepada istrinya.” Saya bertanya, “Apakah hadis ini hanya untuk laki-laki?” Mereka menjawab, tentu saja untuk keduanya. Akhlak mulia berlaku timbal balik dalam rumah tangga: antara suami dan istri, orang tua dan anak, dan antar anggota keluarga lainnya.
Inilah esensi pendekatan Mubadalah: Jika laki-laki berhak atas kebaikan dari istrinya, maka perempuan juga berhak atas hal yang sama dari suaminya. Dan jika tidak ada pasangan? Maka hak dan tanggung jawab itu berlaku dalam lingkup keluarga dan masyarakat.
Kami juga membahas hadis tentang istri salihah. Namun melalui pendekatan Mubadalah, kami pahami bahwa akhlak tersebut bukan hanya untuk istri terhadap suami, tetapi juga hak istri yang harus dipenuhi oleh suami. Maka, jika ada istri salihah, harus ada pula suami salih: yang menyenangkan, menaati dalam kebaikan, dan menjaga diri.
Refleksi Kepemimpinan
Doa hab lana berakhir dengan permohonan agar dijadikan imam bagi orang-orang bertakwa. Banyak perempuan tampak tertegun menyadari bobot makna ini. Saya pun bertanya, “Siapa di antara kalian yang menjadi guru, membimbing keluarga, melindungi anak-anak, mendampingi orang tua, bahkan memberi arahan kepada suami?” Mereka mengangguk. Maka saya tegaskan: itulah makna menjadi imam.
Imam bukan semata-mata pemimpin salat. Imam adalah pembimbing, pelindung, penunjuk jalan, bahkan pelayan. Maka, permohonan “waj’alna lil muttaqina imama” adalah doa yang sangat relevan untuk perempuan.
Diskusi pun mengalir deras. Mereka bercerita tentang perjuangan di komunitas, tentang suara-suara yang kerap dipinggirkan, dan bagaimana mereka menyadari bahwa perjuangan mereka adalah bagian dari iman dan amal saleh.
Saya berkata: “Mubadalah adalah jembatan antara langit dan bumi. Semua relasi yang baik adalah relasi yang saling. Tak ada keimanan yang utuh tanpa memperjuangkan kemaslahatan bersama.” Lalu kami bersama-sama menggemakan: mu-ba-da-lah… tiga kali. Ruangan dipenuhi energi baru.
Spiritualitas yang Menggerakkan
Pelatihan ini menjadi ruang syahdu, tempat kami menyatukan doa, pengetahuan, dan komitmen praksis. Saya menyaksikan mata-mata berbinar saat mereka menyadari bahwa hak-hak mereka bukanlah pemberian siapa pun, melainkan mandat ilahi yang harus ditegakkan.
Saya menyebutnya nur Mubadalah—cahaya yang menyalakan semangat untuk membangun rumah tangga yang adil dan penuh cinta.
Ada momen tak terlupakan: seorang perempuan penggerak, yang sedari awal tenang dan kukuh, tersedu tangis. Air matanya mengalir saat menyadari bahwa Islam memuliakannya bukan hanya sebagai istri atau ibu, tetapi sebagai manusia utuh, berakal budi, dan bermartabat. Ia berkata, “Hari ini saya seperti dilahirkan kembali dalam Islam yang sebenarnya.”
Seorang mualaf dari Pulau Pinang juga berbagi kisah. Ia baru beberapa tahun memeluk Islam, dan hari itu ia berkata lirih, “Saya baru sungguh paham… bahwa sebagai perempuan, saya bukan pelengkap. Saya adalah khalifah yang bermitra, saling menopang dengan laki-laki, membangun keluarga dan masyarakat.” Wajahnya memancarkan kekuatan baru—iman yang bertemu kesadaran akan jati diri.
Kita Jalan Bersama
Saya pulang dari Kuala Lumpur dengan hati bergetar. Pelatihan ini bukan sekadar berbagi ilmu, tapi menjadi saksi bagaimana sekelompok perempuan menyalakan kembali cahaya Islam sejati—Islam yang memuliakan dan memberdayakan.
Doa-doa mereka kini bukan hanya ritual, melainkan manifesto hidup yang menggerakkan: membela hak-hak perempuan sebagai mandat agama, membangun keluarga dan masyarakat sebagai medan perjuangan akhlak mulia.
Jalan Mubadalah punya magma spiritual yang tak pernah padam. Ia bukan sekadar teori, melainkan gerak hidup: menguatkan perempuan hari ini dan menyemai kesadaran untuk esok dan lusa—tanpa henti. []
*Penulis adalah Pendiri Yayasan Fahmina, saat ini sebagai Anggota Majelis Pembina Yayasan Fahmina.