Oleh: Bayu Firmansyah*
Al-Qur’an menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak diutus oleh Allah SWT hanya untuk satu golongan atau kelompok tertentu, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta, tanpa membedakan ras, suku, atau bangsa—sebagai rahmatan lil ‘alamin. Prinsip kesetaraan ini juga ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya:
“Hai manusia, ingatlah! Sesungguhnya Tuhanmu hanya satu, dan bapakmu (Nabi Adam) juga satu. Tidak ada keunggulan orang Arab atas non-Arab, atau non-Arab atas Arab, orang berkulit putih atas yang berkulit hitam, maupun yang berkulit hitam atas yang berkulit putih, kecuali berdasarkan ketakwaan.” (HR. Ahmad)
Rasulullah mengingatkan bahwa pada dasarnya seluruh manusia setara, karena mereka adalah keturunan Nabi Adam. Ras, warna kulit, maupun jenis kelamin tidak menjadi tolok ukur keunggulan seseorang. Hal-hal tersebut merupakan ketentuan Ilahi yang berada di luar kendali manusia. Maka, keutamaan seseorang ditentukan oleh ketakwaannya.
Salah satu persoalan yang sering kita jumpai di masyarakat adalah pandangan terhadap perempuan yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup dan keluarganya. Ini bukan hanya fenomena di kota besar, tetapi juga terjadi di lapisan masyarakat bawah. Pertanyaannya: apakah hal ini merupakan sesuatu yang wajar? Bagaimana Islam memandangnya?
Sebelum membahas hal tersebut, ada baiknya kita memahami terlebih dahulu tentang apa yang dimaksud dengan kodrat perempuan. Kodrat adalah sesuatu yang bersifat alami dan melekat, seperti kemampuan hamil, melahirkan, menyusui hingga anak berusia dua tahun, serta mengalami haid setiap bulan. Itu semua adalah bagian dari kodrat perempuan. Di luar itu, baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak yang sama, termasuk hak untuk menuntut ilmu, berkarier, memimpin, dan berorganisasi.
Lalu, bagaimana Islam memandang perempuan yang bekerja?
Dalam sejarah Islam, pada masa Rasulullah SAW, ada seorang sahabat perempuan bernama Ummu Qusyairiyah yang diizinkan oleh beliau untuk berbisnis. Saat itu, suaminya sedang mengalami kesulitan ekonomi. Dengan tetap menjaga kehormatan dirinya, suaminya, dan keluarganya, ia keluar rumah untuk membantu memenuhi kebutuhan hidup. Peristiwa ini menunjukkan bahwa perempuan boleh bekerja, selama tetap menjaga nilai-nilai kesopanan dan akhlak.
Dari sini kita bisa memahami bahwa bekerja atau tidak bekerja bukanlah soal salah atau benar secara mutlak. Tidak selamanya perempuan yang berkarier itu buruk, dan tidak selamanya pula perempuan yang hanya di rumah otomatis lebih baik. Bukan pula jaminan bahwa orang yang tinggal di rumah pasti lebih bertakwa daripada yang bekerja di luar. Justru bisa jadi, perempuan yang keluar rumah untuk mencari nafkah halal, menjaga akhlak, dan menjadi teladan, bisa menjadi ibu yang sukses dan bermartabat.
Untuk itu, kepada seluruh perempuan: jangan pernah berhenti berkarya dan berkontribusi dalam kebaikan, apapun bentuknya, selama harkat, martabat, dan kemuliaanmu tetap terjaga. []
*Penulis merupakan Lingkar Fahmina yang bergerak dibidang Pemuda dan Perdamaian di Kecamatan Komsulin Kedawung.