Oleh: Noer Fahmiatul Ilmia*
Tulisan ini berangkat dari buku Al-Qur’an Kitab Toleransi: Tafsir Tematik Islam Rahmatan Lil ‘Alamin karya Zuhairi Misrawi. Buku ini menarik untuk dikaji karena berupaya mengembalikan pemahaman yang keliru dalam menafsirkan teks Al-Qur’an, sebuah realitas yang terjadi di tengah masyarakat saat ini. Zuhairi menghadirkan tiga prinsip dasar yang terkandung dalam teks Al-Qur’an, yaitu inklusivisme, pluralisme, dan multikulturalisme. Ketiga prinsip ini seharusnya hadir dalam kehidupan masyarakat yang majemuk seperti di Indonesia, yang kaya akan ragam suku, budaya, dan bahasa.
Keberagaman bukanlah sebuah persoalan, melainkan sunnatullah—sesuatu yang sudah ditetapkan dan tidak bisa dihindari. Semua itu adalah ketentuan Allah dalam menciptakan dan mengatur alam semesta. Menurut Zuhairi, Al-Qur’an adalah kitab yang mengajarkan perdamaian, kasih sayang, dan penghormatan antarsesama. Banyak ayat dalam Al-Qur’an yang menekankan inklusivisme, pluralisme, dan multikulturalisme. Mengingat konteks sosiologis ketika Al-Qur’an diturunkan berbeda dengan konteks saat ini, kontekstualisasi terhadap ayat-ayat tersebut menjadi penting agar teks Al-Qur’an dapat dipahami secara utuh dan menyeluruh.
Dalam bukunya, Zuhairi menggarisbawahi dua poin penting terkait ajaran Al-Qur’an. Pertama, Al-Qur’an mengakui keragaman dan perbedaan. Banyak teks, baik tersurat maupun tersirat, yang menegaskan hal ini sebagai keniscayaan ilahi yang tidak mungkin dihindari. Allah menciptakan manusia dalam beragam suku, etnis, bangsa, bahasa, budaya, warna kulit, syariat, kitab suci, agama, hingga nabi. Kedua, pentingnya toleransi untuk mencari titik temu dan koeksistensi. Dalam keberagaman tersebut, yang harus ditonjolkan adalah nilai-nilai inklusivitas, pluralitas, dan multikulturalitas—bukan kekerasan atau intoleransi.
Islam sebagai agama yang universal menerima dan menghormati keberagaman. Berdasarkan Human Unity Theory, Islam mengajarkan bahwa seluruh manusia berasal dari satu asal-usul yang sama dan memiliki kedudukan yang setara. Kita dituntut untuk hidup dalam semangat persaudaraan, toleransi, koeksistensi, dan keadilan. Al-Qur’an menjelaskan bahwa Islam tidak mendiskriminasi atas dasar ras, bangsa, atau status sosial. Keberagaman suku, bangsa, dan negara justru dihadirkan untuk saling mengenal dan menjalin persaudaraan (QS. Al-Hujurat: 13).
Lantas, mengapa kita menolak perbedaan dan keberagaman? Bukankah keindahan musik dihasilkan oleh berbagai irama yang berbeda? Musik menghasilkan harmoni justru karena adanya keragaman suara. Begitu pula Tuhan menciptakan kita dengan beragam suku, budaya, agama, dan etnis, agar tercipta harmoni kehidupan yang damai dan indah. Menghargai perbedaan akan melahirkan persaudaraan dan kekuatan yang luar biasa. Intoleransi, eksklusivisme, dan monokulturalisme hanya menciptakan kebisingan dan ketidakharmonisan di masyarakat. Ketika masyarakat mulai menyadari pentingnya harmoni dalam keberagaman, toleransi dan koeksistensi akan tumbuh secara alami. Dengan demikian, nilai-nilai inklusivitas, pluralitas, dan multikulturalitas yang diajarkan Al-Qur’an akan terwujud.
Membangun kesadaran toleransi dan koeksistensi sebenarnya sederhana, namun tidak selalu mudah untuk dipraktikkan. Dalam konsep Filsafat Eksistensialisme, Jean-Paul Sartre (1905–1980), seorang filsuf Prancis, memperkenalkan konsep Being for Other, yaitu keadaan manusia sebagai objek bagi orang lain, yang dalam istilah sederhana berarti “Aku adalah kamu yang lain.” Manusia tidak hanya menjadi subjek (being for itself), tetapi juga objek di hadapan orang lain. Keberadaan kita selalu terkait dengan keberadaan orang lain. Tindakan dan perilaku kita bukan hanya cerminan diri sendiri, tetapi juga dilihat dan dinilai oleh orang lain.
Ajaran agama yang damai dan mencintai perdamaian seharusnya tercermin dalam perilaku umatnya. Jika umat Islam konsisten memperjuangkan nilai-nilai Rahmatan lil ‘Alamin, maka harmoni dalam keberagaman akan melahirkan toleransi dan koeksistensi di masyarakat. Bukankah itu adalah tujuan yang indah untuk kita capai. Tabik. []
*Penulis merupakan Anggota Jaringan GusDurian Cirebon.