Yogyakarta — Upaya memperkuat keulamaan yang berpihak pada penyandang disabilitas terus digerakkan oleh jaringan Ulama Perempuan Indonesia. Kamis (11/12/2025), Konsolidasi Ulama Perempuan Indonesia bertajuk “Memperkuat Peran Keulamaan untuk Hak-Hak Disabilitas di Indonesia” digelar di Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta. Forum ini menjadi ruang temu ulama perempuan, penyandang disabilitas, akademisi, aktivis, serta pemangku kebijakan untuk merumuskan peran strategis agama dalam memperjuangkan keadilan dan inklusivitas.
Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian penguatan menuju Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) dan diinisiasi oleh Yayasan Fahmina bekerja sama dengan Center for GEDSI UNU Yogyakarta. Sekitar 40 peserta hadir secara luring dalam suasana dialogis dan reflektif, membahas bagaimana ajaran Islam dapat ditransformasikan menjadi kekuatan moral untuk meneguhkan hak-hak penyandang disabilitas.
UNU Yogyakarta dan Ikhtiar Kampus Inklusif
Pelaksana Harian Rektor UNU Yogyakarta, Dr. Suhadi, M.A., dalam sambutannya menegaskan komitmen kampus untuk menjadi ruang belajar yang inklusif dan aman bagi semua. Sejak berdiri pada 2017, UNU Yogyakarta menyadari posisinya sebagai kampus baru yang harus memiliki ciri keberpihakan sosial.
“Kami membangun kampus dengan kesadaran bahwa inklusivitas bukan tambahan, tetapi prinsip. GEDSI dibentuk sejak awal pembangunan gedung untuk memastikan kampus ramah disabilitas dan responsif terhadap kekerasan berbasis gender,” ujar Suhadi.
Ia menjelaskan bahwa akses lift, kaca ramah low vision, serta penyesuaian ruang belajar merupakan bagian dari upaya konkret. Tantangan masih ada, terutama dalam penyediaan Juru Bahasa Isyarat (JBI) dan penyesuaian metode pembelajaran di program studi tertentu. Namun, menurutnya, komitmen moral harus terus dijaga.
Upaya tersebut berbuah pengakuan. UNU Yogyakarta masuk dalam 20 besar universitas dunia kategori access and inclusion serta menjalin kerja sama dengan Bristol University, Inggris. “Penghargaan ini bukan tujuan, tetapi pengingat bahwa inklusivitas adalah proses yang harus terus diperjuangkan,” tegasnya.
Fahmina dan KUPI: Keulamaan yang Berpihak pada yang Dilemahkan
Ketua Yayasan Fahmina, Marzuki Rais, menegaskan bahwa isu disabilitas kerap terpinggirkan dalam diskursus keagamaan. Padahal, ulama memiliki posisi strategis dalam membentuk cara pandang masyarakat.
“Ulama sejati adalah mereka yang berpihak kepada kaum yang dilemahkan. Disabilitas bukan kutukan, bukan aib, dan bukan tanda kebencian Tuhan,” ujar Marzuki.
Ia menyampaikan bahwa selama 25 tahun berdiri, Fahmina konsisten bergerak di isu kemanusiaan, keadilan gender, dan hak asasi manusia. KUPI menjadi puncak dari ikhtiar kaderisasi ulama perempuan yang tidak hanya memproduksi pengetahuan, tetapi juga keberpihakan.
Hingga kini, delapan fatwa KUPI telah lahir dan menjadi rujukan nasional maupun internasional. Salah satu agenda penting yang tengah disiapkan adalah penyusunan buku fikih disabilitas oleh ulama perempuan, termasuk ulama perempuan penyandang disabilitas sendiri.
“Regulasi sudah banyak, mulai dari UU hingga Perda. Tantangan terbesarnya adalah implementasi. Di sinilah ulama perempuan berperan, memastikan nilai keadilan hidup di tingkat akar rumput,” tambahnya.
Negara, Ormas, dan Tanggung Jawab Bersama
Dari sisi negara, Budi Arwan, Direktur Organisasi Kemasyarakatan Kementerian Dalam Negeri, menegaskan bahwa pemenuhan hak disabilitas merupakan mandat konstitusional yang tidak bisa dibebankan hanya kepada pemerintah.
“Pembangunan berkeadilan berarti tidak ada satu pun warga yang ditinggalkan, termasuk penyandang disabilitas. Ulama perempuan memiliki modal moral yang sangat besar untuk menggerakkan kesadaran ini,” ujarnya.
Menurut Budi, masih banyak tantangan seperti miskonsepsi keagamaan, tempat ibadah yang belum ramah disabilitas, serta minimnya dakwah inklusif. Kolaborasi antara ormas keagamaan, organisasi penyandang disabilitas, pemerintah daerah, dan kampus menjadi kunci.
Ia juga menyinggung program lintas sektor, seperti pelatihan barista bagi penyandang disabilitas, sebagai contoh bahwa inklusivitas harus diterjemahkan ke dalam kerja nyata dan berkelanjutan.
Meneguhkan Islam yang Memuliakan
Forum konsolidasi ini menegaskan bahwa Islam hadir untuk memuliakan manusia, bukan membenarkan diskriminasi. Keulamaan perempuan diposisikan bukan hanya sebagai otoritas keagamaan, tetapi juga agen transformasi sosial yang mampu menjembatani nilai agama, kebijakan publik, dan pengalaman hidup penyandang disabilitas.
Melalui konsolidasi ini, peserta sepakat bahwa perjuangan hak disabilitas membutuhkan refleksi teologis, keberanian moral, dan kerja kolaboratif lintas sektor. KUPI diharapkan terus menjadi ruang strategis untuk melahirkan pemikiran, fatwa, dan gerakan keagamaan yang inklusif dan berkeadilan. [] (ZA)



