Lembaga:

Dukung kami dengan donasi melalui Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58 a.n. Yayasan Fahmina

Pesantren Kartini: Jalan Iman dan Nalar yang Mencerahkan

Bagaimana Pesantren Mengubah Kekecewaan Kartini Menjadi Cinta pada Islam

Oleh: To’ah Ja’far*

Bukan Eropa yang mengislamkan Kartini. Bukan pula Belanda yang mengenalkannya pada makna. Justru pesantren—lembaga yang dulu dianggap pinggiran—yang membalikkan arah pikirnya tentang iman. Kartini pernah kecewa pada agama, tetapi bukan karena membenci nilai-nilainya. Ia kecewa karena agama dihadapkannya tanpa pemahaman.

Kitab suci disucikan sedemikian rupa hingga tak boleh diterjemahkan. Bahasa Arab dianggap terlalu mulia untuk dijamah lidah Jawa. Dan di situlah, kebutaan spiritual justru dilanggengkan oleh semangat semu dalam menjaga kesakralan.

Kartini tidak melawan Islam, tetapi menantang kebekuan dalam cara menyampaikannya. Ia resah pada pendidikan agama yang membungkam pertanyaan, menumpulkan logika, dan meminggirkan makna. Ia merindukan Islam yang hidup, yang masuk akal, menyentuh hati, dan dekat dengan keseharian.

Maka, ketika tafsir pegon dari Mbah KH Sholeh Darat sampai padanya, kegelisahan itu seperti menemukan rumah. Untuk pertama kalinya, Surat Al-Fatihah tak sekadar didengar, tetapi mampu ia pahami. Dari situlah tumbuh cinta—bukan karena diwariskan, tetapi karena dikenali.

Di sinilah pesantren menunjukkan kelasnya. Ia bukan sekadar institusi pendidikan, tetapi juga ruang budaya, spiritual, dan intelektual yang menyatukan wahyu dan realitas. Pesantren membumikan kitab-kitab dengan bahasa rakyat. Santri diajak berpikir, bukan sekadar tunduk. Sebuah cara belajar yang hari ini justru sering disalahpahami.

Guru di pesantren tidak hanya mengajar, tetapi menanamkan adab berpikir dan kerendahan hati. Inilah Islam yang Kartini cari: Islam yang diterjemahkan, dimengerti, dan dirasakan. Islam yang tidak anti pada pertanyaan, tidak menakutkan, dan tidak asing dari kehidupan.

Sebagaimana firman Allah Swt:

اللَّهُ وَلِيُّ ٱلَّذِينَ آمَنُوا۟ يُخْرِجُهُم مِّنَ ٱلظُّلُمَـٰتِ إِلَى ٱلنُّورِ
“Allah Pelindung orang-orang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya.” (QS. Al-Baqarah: 257)

Ayat ini mencerminkan kehadiran Tuhan dalam membimbing umat menuju ilmu dan pemahaman—membebaskan dari kebodohan. Dalam konteks Kartini, cahaya itu datang dari metode pesantren yang tidak memisahkan nalar dari iman. Model ini yang menyelamatkannya dari kekecewaan—bukan dogma yang tak bisa dipertanyakan, bukan pelajaran agama yang berjarak dengan nalar dan batin.

Namun hari ini, pesantren tidak cukup hanya bangga pernah menerangi Kartini. Lebih dari itu, pesantren harus kembali meneguhkan jati dirinya sebagai tempat bertemunya kitab dan konteks, antara teks dan akal, antara wahyu dan budaya. Tafsir pegon bukan sekadar warisan, tetapi metode berpikir. Islam tidak hanya perlu diajarkan, tapi dimanusiakan.

Sebab keimanan tanpa pemahaman mudah tergelincir, dan pemahaman tanpa kehangatan akan kehilangan ruh. Di tengah ledakan digital, banjir informasi, dan kebisingan ideologi hari ini, model pendidikan ala pesantren menjadi semakin relevan.

Pesantren harus tetap menjadi ruang yang ramah untuk berpikir, bersuara, dan mencari makna. Di sanalah tempat paling mungkin bagi lahirnya Kartini-Kartini baru: kritis tetapi taat, shalehah tetapi intelektual, tidak takut bertanya, dan tidak ragu mencintai agamanya.

Dan semua itu dimulai dari cara menjelaskan Tuhan kepada manusia—seperti yang dilakukan Mbah Sholeh Darat kepada Kartini.

Pesantren yang seperti itulah yang layak menyandang nama “Pesantren Kartini.”

Wallahu a‘lam bis-shawab.

Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58 a.n. Yayasan Fahmina

Terkait

Bukan Pedang tapi Pelukan: Dakwah Nusantara Merawat Moderasi di Tengah Radikalisasi Virtual

Oleh: Muhammad Nashrul Abdillah "Di tengah radikalisasi virtual, yang kita butuhkan bukan pedang, melainkan pelukan yang meneduhkan." Keseimbangan antara nilai universal...

Populer

Artikel Lainnya