Lembaga:

Dukung kami dengan donasi melalui Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58 a.n. Yayasan Fahmina

NU dan Pancasila: Menjaga Iman, Merawat Kebangsaan

Muktamar NU 1984 di Situbondo bukan sekadar peristiwa organisasi, tapi titik balik sejarah ketika ulama pesantren menegaskan bahwa iman dan cinta tanah air bisa berjalan beriringan.

Oleh: Dr. (HC) KH. Husein Muhammad

Pendiri dan Ketua Umum Majelis Pembina Yayasan Fahmina, Pengasuh PP. Dar al Fiqr Arjawinangun

Di tengah hiruk-pikuk sejarah bangsa Indonesia yang penuh gejolak, Muktamar Nahdlatul Ulama tahun 1984 di Situbondo menjadi penanda penting arah perjalanan keislaman dan kebangsaan Indonesia. Dalam forum tertinggi organisasi Islam terbesar di Indonesia itu, para kiai pesantren mengambil satu keputusan bersejarah yang pengaruhnya masih terasa hingga kini: menerima Pancasila sebagai ideologi final Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Keputusan itu bukan hal kecil. Ia muncul dalam konteks ketegangan ideologis pada masa Orde Baru, saat negara menuntut semua organisasi untuk menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Banyak yang gamang. Tapi NU mengambil jalan berbeda. Jalan yang tidak reaktif, namun reflektif. Para kiai mendiskusikan hal ini bukan dengan logika politik semata, tetapi dengan panduan teks-teks keagamaan, maqashid syari’ah, dan pertimbangan maslahat yang mendalam.

Penerimaan NU terhadap Pancasila bukan sekadar akomodasi terhadap tekanan rezim, melainkan bagian dari ijtihad kolektif yang matang. Dalam pandangan para ulama NU, Pancasila tidak bertentangan dengan Islam. Sebaliknya, ia menyediakan ruang hidup yang adil dan damai bagi semua warga negara, tanpa membedakan latar belakang agama, suku, dan golongan. Nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan dalam Pancasila selaras dengan semangat Islam rahmatan lil ‘alamin.

Muktamar Situbondo juga melahirkan tiga gagasan besar tentang persaudaraan: Ukhuwwah Islamiyyah (persaudaraan sesama umat Islam), Ukhuwwah Wathaniyyah (persaudaraan sebangsa), dan Ukhuwwah Basyariyyah (persaudaraan kemanusiaan universal). Inilah lompatan pemikiran yang luar biasa dari para ulama pesantren, yang membuktikan bahwa identitas keagamaan tidak harus berseberangan dengan cinta tanah air atau kepedulian terhadap sesama manusia.

Di balik gagasan-gagasan besar itu, berdirilah sejumlah tokoh kiai yang pengaruhnya tak ternilai. Kiai As’ad Syamsul Arifin dari Situbondo, Kiai Mahrus Ali dari Lirboyo, Kiai Ahmad Sidiq dari Jember, Kiai Ahmad Sahal Mahfudh dari Kajen, dan Kiai Abdurrahman Wahid dari Jombang, adalah beberapa nama yang layak disebut sebagai arsitek spiritual dari keputusan besar itu. Mereka bukan hanya ulama, tetapi pemimpin moral yang mampu menjembatani tradisi keilmuan Islam dengan dinamika kehidupan berbangsa.

Aku hadir di sana. Menjadi saksi dari suasana batin para kiai yang penuh kehati-hatian, ketulusan, dan tanggung jawab. Mereka bukan sedang mengukir kompromi, tetapi sedang menyusun fondasi keislaman yang berpihak pada keutuhan bangsa. Sebuah pengalaman yang tak hanya menggetarkan hati, tapi juga meninggalkan jejak yang dalam dalam perjalanan pikiranku hingga kini. []

Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58 a.n. Yayasan Fahmina

Terkait

Bukan Pedang tapi Pelukan: Dakwah Nusantara Merawat Moderasi di Tengah Radikalisasi Virtual

Oleh: Muhammad Nashrul Abdillah "Di tengah radikalisasi virtual, yang kita butuhkan bukan pedang, melainkan pelukan yang meneduhkan." Keseimbangan antara nilai universal...

Populer

Artikel Lainnya