Dalam sambutannya, Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof. Noorhaidi Hasan, menegaskan bahwa pilihan Yogyakarta sebagai tuan rumah kegiatan ini mengandung pesan historis yang kuat. Pada 22 Desember 1928, Yogyakarta menjadi tempat berlangsungnya Kongres Perempuan Indonesia pertama, yang melahirkan tonggak perjuangan perempuan Indonesia.
Organisasi perempuan dari berbagai daerah—Putri Indonesia, Wanita Katolik, Aisyiyah, Wanita Taman Siswa, dan lainnya—mengusung isu strategis seperti kesetaraan hukum, akses pendidikan, serta penolakan terhadap kawin paksa dan pernikahan anak.
“Pada tahun 1928 saja, perempuan Indonesia sudah menunjukkan prestasi luar biasa,” ungkapnya. “Kerja keras mereka memberi kontribusi penting bagi perkembangan bangsa dan negara.”
Komitmen Negara Menguatkan KUPI
Gusti Kanjeng Ratu Hemas, yang menghadiri pembukaan Halaqah Kubra, menegaskan bahwa negara perlu memberikan dukungan nyata bagi kerja-kerja KUPI. Dengan keterwakilan perempuan di DPD RI yang kini mencapai 34,6%, ia menyatakan bahwa lembaga itu siap membantu menjembatani gagasan masyarakat sipil ke arah kebijakan publik.
“Kerja-kerja KUPI harus diperkuat oleh negara. DPD siap menjadi jembatan,” tegasnya.
GKR Hemas juga menggarisbawahi pentingnya Dokumen Refleksi Nasional Gerakan Keulamaan Perempuan 2022–2025 sebagai arah strategis bagi gerakan ke depan.
Misi KUPI: Pengetahuan Berdampak dan Kepemimpinan yang Menguat
Sementara itu, Ketua Majelis Musyawarah KUPI, Nyai Hj. Badriyah Fayumi, menegaskan bahwa KUPI bukan sekadar forum ulama perempuan, tetapi sebuah gerakan peradaban Islam yang berkeadilan. Visi tersebut diturunkan ke dalam tiga perspektif utama: keadilan hakiki, mubadalah, dan ma’ruf.
Badriyah menjelaskan empat misi gerakan yang menjadi fokus pembahasan Halaqah Kubra. Ia menekankan bahwa misi pertama adalah memproduksi pengetahuan dalam lima ruang, kemudian menyebarluaskannya melalui pendidikan, advokasi, dan dakwah agar melahirkan perubahan sosial.
Misi lainnya adalah memperkuat otoritas ulama perempuan melalui kaderisasi seperti yang dilakukan Rahima dan Fahmina, serta menumbuhkan ruang-ruang baru bagi kepemimpinan ulama perempuan. Upaya penulisan sejarah keulamaan perempuan oleh Jaringan GUSDURian juga disebut sebagai tonggak penting literasi gerakan.
Pengakuan Internasional untuk Gerakan KUPI
KUPI telah meraih berbagai pengakuan nasional dan internasional. Mulai dari nominasi tiga besar penerima Tulip Award Pemerintah Belanda, hingga menjadi fokus edisi khusus jurnal internasional di Afrika. Pengakuan ini menunjukkan bahwa gerakan ulama perempuan Indonesia memiliki relevansi global.
Menuju KUPI III Tahun 2027
Melalui Halaqah Kubra 2025, KUPI berharap semakin memperkokoh kontribusi ulama perempuan dalam menghadirkan masa depan umat yang lebih damai, bermartabat, adil, dan maslahat bagi semua. (ZA) []



