Lembaga:

Dukung kami dengan donasi melalui Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58 a.n. Yayasan Fahmina

Ketika Ulama Perempuan, Negara, dan Difabel Merumuskan Fikih Inklusif

Konsolidasi KUPI di Yogyakarta mempertemukan negara, ulama perempuan, dan difabel untuk merumuskan fikih disabilitas sebagai jalan transformasi Islam yang inklusif dan berkeadilan.

Yogyakarta — Konsolidasi Ulama Perempuan Indonesia yang digelar di UNU Yogyakarta bukan sekadar forum akademik atau diskusi kebijakan. Ia menjelma ruang perjumpaan yang jarang terjadi: negara, ulama perempuan, akademisi, aktivis, dan penyandang disabilitas duduk setara, berbagi pengalaman, serta merumuskan ulang cara beragama yang lebih adil dan inklusif.

Moderator diskusi, Erin Gayatri, menegaskan bahwa isu disabilitas masih minim dibahas dalam diskursus keagamaan arus utama. Padahal, sekitar 10 persen penduduk Indonesia adalah penyandang disabilitas angka tertinggi di Asia Tenggara. Ketimpangan antara populasi dan akses inilah yang menjadi kegelisahan utama forum konsolidasi KUPI.

Negara dan Agenda Inklusivitas

Dari perspektif negara, Budi Arwan, Direktur Organisasi Kemasyarakatan Kementerian Dalam Negeri, menekankan bahwa keadilan sosial tidak bisa ditunda dan tidak boleh eksklusif. Menurutnya, pembangunan nasional hanya bermakna jika seluruh warga, termasuk penyandang disabilitas, memperoleh hak dan martabat yang setara.

Ia menilai ulama perempuan memiliki posisi moral strategis dalam agenda inklusivitas nasional. “Ulama perempuan bukan hanya memimpin umat dalam spiritualitas, tetapi juga dalam keberpihakan kepada kelompok rentan,” ujarnya. Negara, lanjutnya, tidak dapat berjalan sendiri. Kolaborasi antara pemerintah, organisasi masyarakat sipil, komunitas difabel, dan institusi keagamaan menjadi prasyarat utama.

Sebagai contoh, Kemendagri mendorong program pemberdayaan ekonomi inklusif, salah satunya pelatihan barista bagi penyandang disabilitas bekerja sama dengan Yayasan Sunyi. Namun, ia menegaskan bahwa perubahan sosial tidak cukup melalui program teknis semata, melainkan membutuhkan perubahan cara pandang.

Regulasi Kuat, Realitas Belum Setara

Paparan Sri Wahyuni dari Pusat Rehabilitasi YAKKUM menunjukkan bahwa Indonesia sejatinya memiliki landasan hukum yang sangat kuat. Mulai dari UUD 1945, ratifikasi UNCRPD, hingga UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang menandai pergeseran dari pendekatan belas kasih menuju pendekatan berbasis hak.

Namun, dalam praktik, kesenjangan masih terasa nyata. Keterbatasan guru pendamping, fasilitas pendidikan dan kesehatan yang belum aksesibel, transportasi publik yang tidak ramah difabel, hingga lemahnya implementasi kuota kerja menjadi persoalan berulang. Bahkan, program-program nasional seperti makan bergizi gratis belum sepenuhnya mempertimbangkan kebutuhan khusus anak disabilitas.

Pengalaman Difabel: Ketika Agama Menjadi Hambatan

Pengalaman personal disampaikan Stella, perempuan muda penyandang disabilitas yang kini aktif di YAKKUM. Ia menceritakan bagaimana diskriminasi tidak hanya datang dari sistem sosial, tetapi juga dari tafsir keagamaan. Alat bantu yang ia gunakan kerap dipertanyakan kesuciannya, bahkan dianggap najis, padahal itu adalah bagian dari tubuhnya.

Ruang publik yang diklaim ramah difabel pun, menurutnya, sering hanya ramah di atas kertas. Halte, tempat ibadah, dan fasilitas umum masih minim bantuan nyata. Bagi Stella, menjadi perempuan difabel berarti menghadapi kerentanan yang berlapis—sebagai perempuan, sebagai difabel, dan sebagai warga yang haknya kerap dinegosiasikan.

Fikih Disabilitas sebagai Jalan Transformasi

Di sinilah Prof. Ro’fah menempatkan fikih disabilitas sebagai epistemologi perubahan sosial. Ia menegaskan bahwa fikih bukan hukum statis, melainkan sistem hidup yang berinteraksi dengan realitas. Selama ini, difabel sering diposisikan sebagai objek rukhsah penerima keringanan bukan sebagai subjek penuh.

Fikih disabilitas, menurutnya, berangkat dari pengalaman hidup penyandang disabilitas sendiri. Hambatan bukan semata pada tubuh individu, tetapi pada sistem sosial yang dibangun tanpa mempertimbangkan keberagaman tubuh dan kemampuan. Karena itu, fikih harus berani mengoreksi bias normalitas yang selama ini diterima begitu saja.

KUPI dan Fikih Murunah

Gagasan ini diperkuat Prof. Dr. Faqihuddin Abdul Kodir, yang menjelaskan bahwa dalam perspektif KUPI, ulama perempuan adalah posisi ideologis, bukan biologis. Siapa pun laki-laki atau perempuan yang menggunakan ilmunya untuk iman, akhlak, dan keadilan kemaslahatan adalah bagian dari gerakan ulama perempuan.

KUPI menawarkan fiqih murunah, fikih yang lentur, adaptif, dan berkeadilan. Ukuran “ringan” dan “berat” hukum tidak lagi ditentukan oleh non-difabel, melainkan oleh pengalaman difabel itu sendiri. Dalam isu disabilitas, non-difabel cukup bersaksi, bukan memutuskan.

Menuju Ekosistem Keulamaan Inklusif

Forum ini menegaskan bahwa perjuangan hak disabilitas membutuhkan ekosistem: perubahan tafsir keagamaan, keberanian ulama perempuan, kebijakan publik yang konsisten, serta ruang bagi penyandang disabilitas untuk menulis dan berbicara tentang hidup mereka sendiri. Fikih disabilitas, sebagaimana ditegaskan berulang kali, adalah proyek intelektual sekaligus sosial—yang hanya mungkin hidup jika berangkat dari pengalaman nyata. [] (ZA)

Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58 a.n. Yayasan Fahmina

Terkait

Safari Harmoni Yayasan Fahmina: Merawat Persaudaraan Lintas Iman di Cirebon Menjelang Natal 2025

Cirebon — Rabu, 24 Desember 2025, menjelang perayaan Natal 2025, Yayasan Fahmina kembali meneguhkan komitmennya dalam merawat persaudaraan dan...

Populer

Artikel Lainnya