Yogyakarta — “Nothing about us without us.” Kalimat ini bergema kuat dalam Konsolidasi Ulama Perempuan Indonesia yang membahas penguatan peran keulamaan untuk hak-hak disabilitas. Bertempat di UNU Yogyakarta, forum ini menegaskan bahwa perjuangan keadilan bagi penyandang disabilitas tidak cukup berhenti pada regulasi negara, tetapi harus menyentuh akar kultural dan keagamaan melalui fikih yang hidup dan berpihak.
Diskusi panel menghadirkan beragam perspektif: negara, gerakan masyarakat sipil, pengalaman langsung penyandang disabilitas, hingga refleksi mendalam ulama dan akademisi. Moderator Erin Gayatri menegaskan bahwa meski sekitar 10 persen penduduk Indonesia adalah penyandang disabilitas tertinggi di Asia Tenggara akses terhadap pendidikan, pekerjaan, dan ruang ibadah masih jauh dari memadai.
Regulasi Kuat, Implementasi Tertinggal
Dari sisi kebijakan nasional, Sri Wahyuni dari Pusat Rehabilitasi YAKKUM memaparkan bahwa Indonesia sesungguhnya telah memiliki fondasi hukum yang kuat. Mulai dari UUD 1945, ratifikasi UNCRPD, hingga UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang menandai pergeseran paradigma dari charity-based ke rights-based approach.
Namun, realitas di lapangan masih timpang. Keterbatasan guru pendamping, fasilitas pendidikan dan kesehatan yang belum aksesibel, transportasi publik yang tidak ramah difabel, hingga minimnya akses permodalan dan dunia kerja menjadi problem berulang. “Kebijakan sudah cukup, tetapi pelaksanaannya masih menyisakan banyak celah,” tegasnya.
Pengalaman Perempuan Difabel: Diskriminasi yang Berlapis
Pengalaman personal disampaikan Stella, perempuan muda penyandang disabilitas dari YAKKUM. Dalam upaya mengakses pendidikan tinggi dan pekerjaan, ia berhadapan dengan diskriminasi struktural sekaligus kultural, termasuk tafsir keagamaan yang keliru.
“Saya pernah dipertanyakan soal alat bantu yang dianggap najis, padahal itu bagian dari tubuh saya,” tuturnya. Ia juga menyoroti ruang publik yang diklaim ramah difabel, tetapi dalam praktiknya masih sulit diakses dan minim pendampingan. Bagi Stella, disabilitas tidak bisa dilepaskan dari pengalaman gender—perempuan disabilitas menghadapi kerentanan yang berlapis.
Fikih Disabilitas sebagai Epistemologi Perubahan
Perspektif kunci datang dari Prof. Ro’fah, Direktur Layanan Difabel UIN Sunan Kalijaga. Ia menempatkan fikih disabilitas bukan sekadar produk hukum, melainkan epistemologi transformasi sosial cara baru memahami relasi agama, tubuh, dan keadilan.
Selama ini, difabel kerap diposisikan sebagai objek belas kasih melalui konsep rukhsah (keringanan). Fikih disabilitas justru menggeser paradigma: hambatan bukan semata pada individu, melainkan pada sistem dan lingkungan yang tidak adil. Karena itu, fikih harus disusun dengan melibatkan penyandang disabilitas sebagai subjek dan sumber pengetahuan.
“Fikih tidak statis. Ia hidup dan berinteraksi dengan realitas sosial,” ujarnya. Pendekatan ini juga menyoroti interseksionalitas—gender, kelas, dan disabilitas—yang sering luput dalam fiqih konvensional.
KUPI dan Fikih Murunah
Gagasan tersebut diperkuat oleh Prof. Dr. Faqihuddin Abdul Kodir, penggagas Mubadalah dan salah satu motor KUPI. Ia menjelaskan bahwa dalam perspektif KUPI, ulama perempuan bukan sekadar identitas biologis, melainkan posisi ideologis: siapa pun yang menggunakan ilmunya untuk iman, akhlak, dan keadilan kemaslahatan.
KUPI menawarkan fiqih murunah fikih yang lentur, adaptif, dan berkeadilan, berlandaskan prinsip taghayyur al-ahkam (perubahan hukum karena waktu, kondisi, dan pengalaman tubuh). Dalam konteks disabilitas, ukuran “ringan” atau “berat” hukum tidak lagi ditentukan oleh non-difabel, melainkan oleh pengalaman difabel itu sendiri.
“Non-difabel bersaksi, bukan memutuskan,” tegasnya. Difabel diposisikan sebagai fa’il kamil subjek utuh yang berhak menafsirkan dan memproduksi pengetahuan keagamaan, meski tidak memiliki otoritas fiqih klasik secara formal.
Menuju Ekosistem Keulamaan Inklusif
Diskusi ini juga menyingkap problem otoritas keagamaan dan pendidikan inklusif. Prof. Ro’fah mencontohkan bagaimana konsep rukhsah kerap justru menyingkirkan difabel dari ruang ibadah, alih-alih membuka akses. Sementara Sri Wahyuni menyoroti sistem pendidikan yang masih memandang inklusi sebagai beban, bukan transformasi sistem.
Forum ini menegaskan bahwa fikih disabilitas adalah proyek intelektual sekaligus sosialmengubah cara berpikir ulama, lembaga pendidikan, dan pembuat kebijakan. KUPI diharapkan menjadi ekosistem yang memungkinkan penyandang disabilitas menulis, berbicara, dan merumuskan fikih dari pengalaman hidup mereka sendiri. [] (ZA)



