Jakarta, 21 Mei 2025 — Tanggal 21 Mei dikenal sebagai titik balik sejarah politik Indonesia: hari ketika Soeharto mengundurkan diri dari kursi kepresidenan setelah 32 tahun berkuasa. Kejatuhan rezim otoritarian Orde Baru yang militeristik membuka jalan bagi era Reformasi, yang kala itu ditandai dengan penguatan peran masyarakat sipil, penghapusan dwifungsi ABRI, dan janji-janji demokratisasi.
Namun kini, 26 tahun kemudian, harapan Reformasi justru menghadapi ancaman balik. Dalam pernyataan sikap yang dirilis hari ini, Koalisi Masyarakat Sipil—yang terdiri dari IMPARSIAL, CENTRA Initiative, PBHI, WALHI, HRWG, SETARA Institute, dan DeJure Raksha Initiatives—mengkritisi menguatnya militerisme dalam ruang sipil, pelemahan institusi demokrasi, dan manipulasi sejarah bangsa.
Salah satu sorotan utama adalah disahkannya Revisi Undang-Undang TNI yang dinilai membuka kembali ruang intervensi militer dalam ranah sipil. Hal ini terlihat dari perluasan tugas Operasi Militer Selain Perang (OMSP) tanpa persetujuan DPR, peningkatan usia pensiun militer, serta kembalinya tentara aktif ke posisi-posisi sipil strategis.
Lebih jauh, revisi tersebut juga dinilai sebagai bentuk pengabaian terhadap mandat Reformasi, yang salah satunya adalah mereformasi peradilan militer. UU No. 31 Tahun 1997 hingga kini belum direvisi, padahal TAP MPR No. VII Tahun 2000 dan UU No. 34 Tahun 2004 telah memandatkan hal itu.
“Pemerintah bukan hanya gagal menuntaskan agenda reformasi sektor keamanan, tetapi juga memberi ruang impunitas terhadap pelanggaran HAM berat masa lalu. Alih-alih penegakan hukum, negara justru mempertimbangkan pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto, yang diduga kuat terlibat dalam berbagai pelanggaran HAM,” ujar Koalisi.
Koalisi menyebut kondisi ini sebagai pengkhianatan terang-terangan terhadap semangat 1998. Mereka mendesak pemerintah untuk:
-
Mengembalikan TNI ke barak dan menarik militer dari ranah sipil.
-
Menolak gelar pahlawan bagi Soeharto.
-
Mengungkap sejarah pelanggaran HAM masa lalu dalam buku sejarah nasional.
-
Melanjutkan penyidikan kasus pelanggaran HAM yang terhenti di Kejaksaan.
-
Melanjutkan reformasi sektor keamanan (TNI, Polri, Intelijen) agar menjadi institusi yang demokratis dan profesional.
Peringatan 21 Mei 1998 seharusnya bukan hanya seremoni mengenang kejatuhan Soeharto, tetapi momentum menjaga semangat Reformasi dari arus balik militerisme dan otoritarianisme yang kini tengah mengancam. []