Lembaga:

Dukung kami dengan donasi melalui Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58 a.n. Yayasan Fahmina

Untuk Sisters in Islam — Tetaplah Menyala, Tetaplah Bergerak

Refleksi perjalanan bersama Sisters in Islam (SIS) — organisasi perempuan Muslim Malaysia yang selama lebih dari 30 tahun memperjuangkan Islam yang adil dan berkeadilan gender, di tengah tuduhan dan pembungkaman yang tak kunjung usai.

Oleh: Zaenal Abidin

(Alumni Mubadalah Exchange X SIS 2019, Staf Yayasan Fahmina)

Sudah enam tahun berlalu sejak saya pertama kali menjejakkan kaki di Kuala Lumpur, Malaysia, pada pertengahan Agustus 2019. Saya dan teman-teman dari redaksi Mubaadalahnews.com (yang kini menjadi Mubadalah.id) datang dalam rangka program Mubadalah Exchange—sebuah lawatan belajar dan pertukaran pengalaman bersama para aktivis muda di Malaysia.

Selama sepuluh hari, kami berjumpa dengan berbagai kalangan: aktivis perempuan, akademisi, agamawan, penulis, hingga politisi muda dari berbagai spektrum politik. Tetapi ada satu perjumpaan yang paling berkesan, bahkan membekas hingga kini: perjumpaan kami dengan Sisters in Islam (SIS).

Bagi saya pribadi, SIS bukan sekadar organisasi masyarakat sipil. Mereka adalah suara keberanian. Mereka adalah nafas panjang sebuah perjuangan. Sejak berdiri pada tahun 1988, SIS sudah meletakkan fondasi yang sangat penting dalam gerakan perempuan Muslim di Malaysia dan Asia Tenggara: memperjuangkan hak-hak perempuan Muslim, mengadvokasi pemahaman Islam yang adil dan setara, serta melawan ketidakadilan berbasis tafsir keagamaan.

SIS lahir dari keresahan sekelompok perempuan Muslim yang melihat bagaimana sistem hukum Syariah (Islamic law) sering kali menjadi alat yang menindas perempuan, alih-alih melindungi mereka. Melalui pembacaan kritis Al-Qur’an dengan pendekatan hermeneutika, SIS membuka ruang tafsir baru: Islam sebagai agama rahmat, penuh cinta dan keadilan; Islam yang mengakui kesetaraan martabat antara perempuan dan laki-laki.

Namun perjuangan SIS tak berhenti di sana. Pada akhir 1990-an, aktivisme mereka berkembang: dari isu-isu spesifik hak perempuan menjadi perjuangan yang lebih luas dalam menegakkan prinsip demokrasi, kebebasan beragama, kebebasan berekspresi, dan perlindungan hak asasi manusia. Mereka berdiri di garis depan untuk mengisi kekosongan diskursus Islam progresif di Malaysia.

Hari ini, SIS memainkan peran penting, baik di level nasional maupun internasional. Mereka adalah rujukan bagi banyak gerakan perempuan Muslim yang memperjuangkan pembaruan pemahaman Islam, pengaruh terhadap kebijakan hukum, dan advokasi di tingkat akar rumput.

Namun, jalan mereka tidaklah mudah.

Konservatisme agama yang menguat di berbagai belahan dunia, termasuk di Malaysia dan Indonesia, terus menjadi tantangan besar. Lebih dari 11 tahun terakhir, SIS menghadapi tuduhan ‘sesat’ dari institusi keagamaan resmi. Tuduhan ini jelas bermuatan politik, untuk membungkam ruang gerak mereka dan mendiskreditkan perjuangan mereka di mata publik.

Saya ingat betul perbincangan kami dengan teman-teman SIS kala itu. Bukan hanya soal teori atau wacana, tetapi juga tentang rasa letih, ketegangan, bahkan rasa takut yang nyata. Namun di balik itu semua, ada semangat yang tidak padam. Mereka tetap hadir di komunitas, tetap mendampingi perempuan korban kekerasan, tetap bersuara di forum-forum nasional maupun internasional.

Saya kembali bertemu SIS pada tahun 2023, dalam pertemuan yang membahas gelombang Islamisme di Asia Tenggara, bersama peserta dari Malaysia, Singapura, Thailand, dan beberapa negara lain. Saya menyaksikan langsung: SIS tetap bergerak, tetap belajar, tetap membangun jaringan lintas bangsa.

Di tengah gelombang politik identitas yang menguat, di tengah arus konservatisme yang mencoba membungkam suara-suara kritis, SIS tetap berdiri sebagai mercusuar harapan. Mereka mengajarkan pada kita bahwa perjuangan keadilan tak pernah mudah, tak pernah selesai, tapi selalu mungkin dijalani dengan keberanian, solidaritas, dan cinta.

Kini, saat pengadilan di Malaysia bersiap untuk memutuskan perkara yang sudah menggantung selama lebih dari satu dekade, saya ingin mengirimkan suara solidaritas dan doa:

Semoga SIS tetap teguh berdiri.
Semoga kebenaran dan keadilan berpihak pada mereka.
Semoga ruang gerak bagi Islam yang adil, rahmatan lil ‘alamin, dan membela kemanusiaan makin terbuka luas.
Semoga semangat mereka terus menginspirasi kita semua, melintasi batas-batas negara dan sekat-sekat politik.

Dan bagi kita di Indonesia, Malaysia, dan sekitarnya, ini adalah panggilan: bahwa perjuangan keadilan, kesetaraan gender, dan kemanusiaan yang adil dan beradab adalah perjuangan lintas batas.

Kita mungkin berbeda konteks dan tantangan, tapi kita bisa bersama dalam solidaritas. Kita bisa belajar, saling menguatkan, dan saling menjaga semangat.

Mari terus bersuara.
Mari terus bergerak.

[]

Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58 a.n. Yayasan Fahmina

Terkait

Mengurai Akar Disabilitas dan Mendorong Pemberdayaan Difabel dalam Keluarga dan Masyarakat

Oleh: Zaenal Abidin Pelatihan penguatan hak-hak disabilitas yang digagas oleh Yayasan Fahmina kembali digelar untuk ketiga kalinya pada Jumat, 4...

Populer

Artikel Lainnya