Lembaga:

Dukung kami dengan donasi melalui Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58 a.n. Yayasan Fahmina

Ulama Perempuan sebagai Puser Bumi

Dari Gunung Sembung, suara para nyai dan ulama perempuan bergema: menolak diam, mencipta ruang, dan menyalakan keadilan sebagai inti peradaban.

Oleh: Tho’ah Ja’far*

Sisa kabut masih menyelimuti Gunung Sembung pagi itu. Udara dingin menyelinap pelan, menyegarkan tubuh-tubuh yang bersiap menapaki ratusan anak tangga menuju Masjid Puser Bumi, Astana Gunung Jati, Cirebon.

Tangga-tangga itu menjulang tinggi, menyambungkan bumi yang hiruk-pikuk dengan puncak yang hening. Setiap pijakan seolah mengajak tubuh untuk bersabar, dan jiwa untuk bertanya: “Sudahkah keadilan benar-benar menjadi rumah bagi perempuan?”

Menapaki tangga menjadi lebih dari sekadar gerak fisik; ia menjelma sebagai ziarah batin. Jalannya menanjak, cukup berat, tak selalu ramah bagi para nyai, tokoh, dan ulama perempuan yang telah sepuh. Namun, justru di situlah pelajaran mendasar dimulai—bahwa jalan menuju keadilan tidak pernah mudah. Ia menuntut ketekunan, keberanian, dan ketangguhan dari mereka yang selama ini dilemahkan oleh kuasa.

Ulama Kok Perempuan?

Tak ada kemewahan berlebih di Masjid Puser Bumi, tapi tempat ini sarat makna. Ia bukan sekadar pusat spiritual, melainkan simbol poros peradaban, pusat kehidupan, dan titik mula gerakan. Dalam tradisi banyak budaya, “puser bumi” adalah tempat pertemuan langit dan bumi, ruh dan jasad, sejarah dan harapan.

Dan pada Ahad, 18 Mei 2025, tempat ini menjadi saksi sebuah deklarasi penting: Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan, yang diprakarsai oleh Jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI).

Ratusan nyai dan ulama perempuan dari berbagai daerah mendaki tangga menuju masjid ini, bukan hanya untuk berziarah, tapi untuk menyuarakan komitmen: bahwa perempuan tak lagi hanya menjadi “kaki tangga” sejarah, melainkan bagian dari pusatnya. Mereka adalah poros, puser bumi dari kehidupan dan perubahan.

Suara yang Terhapus, Kini Menyala

Sudah terlalu banyak perempuan yang hidup dalam diam. Suara mereka dihapus sebelum tumbuh. Tubuh mereka dianggap bukan miliknya. Harapan mereka dibungkam oleh sistem patriarkal yang mengakar.

Dari pernikahan anak yang dipaksakan, kekerasan dalam rumah tangga yang dibungkam atas nama aib, eksploitasi tubuh dalam ruang domestik dan digital, hingga keterbatasan dalam menentukan arah hidup—semua itu masih dihadapi perempuan hari ini. Dalam banyak kasus, mereka tidak diberi tempat sebagai subjek kehidupan, padahal mereka menanggung beban paling sunyi dari ketimpangan sosial dan moralitas semu.

Namun, di balik sejarah yang dilupakan, perempuan menyimpan perlawanan. Tak selalu tercatat dalam kitab atau terekam di mimbar, tapi nyata dalam kehidupan. Mereka mengajar tanpa mengejar gelar, memimpin tanpa sorotan, mencintai tanpa syarat. Kini, suara itu tak lagi disimpan.

Di Masjid Puser Bumi, para nyai dan ulama perempuan menegaskan bahwa keulamaan bukan monopoli laki-laki. Keadilan adalah keberanian mengakui keilmuan siapa pun yang bertakwa dan berilmu—tanpa memandang jenis kelamin.

“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.”
(QS. Al-Ḥujurāt: 13)

“Sesungguhnya perempuan adalah saudara kandung laki-laki.”
(HR. Abu Dawud)

Ulama Perempuan: Akar yang Dilupakan

Sejak zaman Nabi Muhammad Saw., perempuan telah menjadi rujukan ilmu. Sayyidah Aisyah RA meriwayatkan ribuan hadis. Ummu Darda’ mengajar para qadhi. Fatimah al-Bataihiyyah menjadi guru Imam Suyuthi. Ribuan nama perempuan alim lainnya tercatat dalam sejarah. Maka mempertanyakan eksistensi ulama perempuan hari ini adalah bentuk pengingkaran terhadap akar keilmuan Islam itu sendiri.

Turun dan Menyala

Dari puncak Gunung Sembung, para ulama perempuan tak turun dengan tangan kosong. Mereka membawa api—api ilmu yang membela, menolak diam atas ketidakadilan, dan menyalakan kesadaran bahwa Islam tak pernah mengajarkan diskriminasi.

“Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat kebajikan.”
(QS. An-Nahl: 90)

Keadilan tak cukup menjadi wacana. Ia harus hadir dalam bentuk kebijakan yang melindungi perempuan, tafsir yang berpihak pada korban, ruang keagamaan yang memberi tempat bagi suara perempuan, serta gerakan sosial yang menjadikan nyawa perempuan sebagai pusat nilai—bukan sekadar angka statistik.

Di bawah pohon jati tua, di antara nisan-nisan sunyi, para pengemban ilmu berdiri. Mereka tidak meminta ruang; mereka menciptakannya. Dengan kitab di tangan dan cinta di dada, mereka merawat kehidupan agar tak lagi timpang sebelah.

Pusat Bumi, Pusat Peradaban

Dari Gunung Sembung, suara mereka menyebar ke ruang tafsir, ke legislatif, ke dapur, ke kelas, ke layar digital, ke ladang, ke rahim. Karena perempuan adalah pusat bumi, sumber kehidupan itu sendiri.

Dan ulama perempuan adalah sumbu, yang menyalakan kesadaran bahwa tak ada peradaban yang utuh tanpa keadilan bagi perempuan. Membela perempuan bukan sekadar kerja aktivisme—tapi kerja keimanan.

Wallahu a’lam bis-shawab. []

*Penulis adalah Ulama Perempuan Lingkar Fahmina, Pengasuh Pesantren Asrama An Nasir Al Mansur Khas Kempek Cirebon 

Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58 a.n. Yayasan Fahmina

Terkait

Mengurai Akar Disabilitas dan Mendorong Pemberdayaan Difabel dalam Keluarga dan Masyarakat

Oleh: Zaenal Abidin Pelatihan penguatan hak-hak disabilitas yang digagas oleh Yayasan Fahmina kembali digelar untuk ketiga kalinya pada Jumat, 4...

Populer

Artikel Lainnya