Oleh: Zaenal Abidin
Sekolah Agama dan Kepercayaan (SAK) Angkatan ke-2 yang digelar di Pura Jati Agung Pramana kembali membuka ruang belajar lintas iman dan keyakinan. Dalam sesi kali ini, peserta diajak menyelami lebih dalam ajaran Hindu, mulai dari sejarah, ajaran pokok, simbol-simbol, hingga cara pandang terhadap Tuhan dan kehidupan.
Made Supartini, salah satu narasumber utama dalam sesi ini, memaparkan dengan hangat bahwa Hindu merupakan ajaran yang lahir dari pengetahuan universal. “Weda bukan hanya untuk umat Hindu, tetapi untuk semua makhluk. Karena Weda adalah pengetahuan yang bersifat abadi dan menyeluruh,” jelasnya.
Hindu mengajarkan bahwa Tuhan itu satu, namun hadir dalam berbagai manifestasi yang disebut dewa dan dewi. “Ini seperti cahaya putih yang ketika dipantulkan melalui prisma menjadi banyak warna. Dewa-dewa adalah sifat dan kekuatan Tuhan yang hadir dalam berbagai aspek kehidupan,” ujar Dewa Budiana, pemangku Pura.
Sesi ini pun diwarnai dengan diskusi dan pertanyaan kritis dari peserta. Azma, salah satu peserta dari Gusdurian Cirebon, bertanya, “Jika dalam Hindu ada banyak dewa, siapakah Tuhan dalam agama Hindu? Dan apakah harus sembahyang di pura?” Pertanyaan ini dijawab dengan penuh makna oleh Pak Wayan, “Tuhan dalam Hindu adalah satu, disebut Sang Hyang Widhi Wasa. Sembahyang bisa dilakukan di mana saja, termasuk di rumah. Pura adalah tempat berkumpul, tetapi hubungan dengan Tuhan tak dibatasi tempat.”
Diskusi semakin hidup ketika Fahmi mengangkat pertanyaan terkait tafsir dan konteks sosial-politik agama. “Agama tidak lahir dari ruang kosong. Bagaimana posisi Weda dan tafsir dalam Hindu?” Bu Made menjelaskan bahwa dalam Hindu tidak dikenal tafsir seperti dalam Islam. “Yang ada adalah pemahaman yang diwariskan melalui para resi dan begawan. Weda tidak ditafsirkan secara bebas, tetapi dipahami dalam laku dan praktik sehari-hari,” ujarnya.
Rifki Ulinuha dari PERAGA menyoroti fungsi seni wayang dalam pewarisan nilai. “Apakah lakon dalam wayang adalah bentuk penyebaran agama atau akulturasi budaya saja?” Bu Made menegaskan bahwa wayang bukan sekadar alat hiburan, melainkan sarana menyampaikan nilai-nilai dharma. “Cerita Ramayana misalnya, mengandung ajaran etika, spiritualitas, dan contoh laku mulia.”
Konsep karma juga tak luput dari perhatian. Mikel, peserta dari STT Jakarta, bertanya tentang bagaimana penerapan hukum karma dalam kehidupan sehari-hari. “Hukum karma bukan semata balasan. Tapi ini hukum sebab-akibat yang adil. Kita menanam, maka kita menuai. Berpikir, berkata, dan berbuat baik adalah kunci,” jelas Pak Dewa.
Isu kesetaraan gender juga mengemuka. Salah satu peserta menanyakan apakah perempuan bisa memimpin sembahyang. Pak Wayan menjawab, “Perempuan bisa memimpin sembahyang, apalagi jika memang memiliki pengetahuan dan kapasitas. Dalam Hindu, kesetaraan itu dijunjung tinggi. Dewa dan Dewi, langit dan bumi, laki-laki dan perempuan—semua punya peran setara.”
Tak hanya mendengar, peserta juga diajak melihat secara langsung bagian-bagian pura dan simbol-simbol yang ada. Kegiatan ini menjadi ruang penting untuk saling mengenal, meruntuhkan prasangka, dan memperluas perspektif dalam memahami agama dan kepercayaan yang berbeda.
“Kita tidak sedang belajar untuk menjadi Hindu, tetapi untuk memahami bagaimana umat Hindu melihat Tuhan, hidup, dan sesama. Ini yang penting dalam dialog iman,” tutup Rosidin, fasilitator SAK.
Dengan semangat keterbukaan, SAK Angkatan ke-2 berhasil mempererat persaudaraan lintas iman, menghadirkan agama bukan sebagai tembok, tapi sebagai jembatan menuju kemanusiaan yang lebih utuh. []