Oleh: Zaenal Abidin
Puncak perayaan Seren Taun 22 Rayagung 1958 Suku Sunda berlangsung khidmat dan semarak di Paseban Cigugur, Kuningan, pada Rabu, 19 Juni 2025. Mengusung tema “Nilai Luhur Tradisi Bangsa sebagai Pedoman Menuju Indonesia Emas”, acara ini memperlihatkan betapa tradisi lokal memiliki peran penting dalam membangun karakter dan ketahanan bangsa.
Hadir dalam prosesi puncak antara lain Bupati Kuningan, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat, Sultan Kasepuhan Cirebon, Sultan Kanoman Cirebon, Sekretaris Daerah Kabupaten Kuningan, Kapolres Kuningan, Dandim Kuningan, Rektor ISBI Bandung, Rektor Universitas Parahyangan Bandung, Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Kuningan, Amir Nasional Jamaah Ahmadiyah Indonesia, Kepala Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Pendeta Umar Goltum, perwakilan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Komnas HAM, Camat Cigugur, serta tokoh lintas agama dan budaya lainnya.
Prosesi penumbukan padi (nutu) dilakukan oleh para perwakilan tamu kehormatan, sebagai lambang rasa syukur atas limpahan hasil bumi serta komitmen bersama dalam memperkuat kemandirian dan ketahanan pangan nasional.
Ratu Dewi Kanti Setyaningsih, Ketua Yayasan Tri Mulya Triwikrama, selaku pelestari dan pemelihara Paseban Cigugur, menyampaikan rasa bangga bahwa Seren Taun tahun ini tetap dapat diselenggarakan dengan khidmat dan sakral, meski dalam suasana berduka mengenang wafatnya ayahanda tercinta.
“Warisan tradisi ini tidak mudah dijalankan. Apa yang telah diletakkan ayahanda kami adalah jejak perjuangan yang tak pernah berhenti. Paseban berdiri di atas daya juang para leluhur kami yang teguh memegang rasa nasionalisme sejak masa penjajahan Belanda,” ujar Ratu Dewi Kanti.
Ia menegaskan pentingnya keberpihakan negara bagi komunitas adat. “Kami berharap entitas komunitas adat mendapatkan perhatian dan dukungan, khususnya dalam bidang pendidikan. Kami terus membangun dan mengembangkan lembaga pendidikan di bawah Yayasan Tri Mulya Triwikrama sejak tahun 1957. Kami mohon kepastian dan perlindungan hukum, agar manusia-manusia yang gigih melestarikan budaya ini mendapat pengakuan dan perhatian.”
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa Paseban memiliki ekosistem kebudayaan yang lengkap, mulai dari manuskrip, batik, hingga berbagai warisan budaya lainnya.
Prosesi nutu padi, menurut Ratu Dewi Kanti, sarat makna filosofi: “Orang yang hidup mulia adalah orang yang bekerja dengan keringatnya sendiri, bukan hidup dari keringat orang lain. Karena itu, dalam prosesi ini siapa pun yang hadir—pejabat, rakyat, anak-anak, perempuan, laki-laki—bersama-sama menumbuk padi sebagai simbol kebersamaan dan kemuliaan hasil bumi, yang diolah oleh kita, untuk kita.”
Wakil Menteri Pendidikan Dasar, Menengah dan Layanan Pendidikan Khusus, Dr. Fajar Riza Ul Haq, M.Si., dalam sambutannya mengatakan:
“Upacara ini bukan hanya milik masyarakat Kuningan, melainkan milik bangsa Indonesia. Padi dan buah-buahan adalah simbol rasa syukur, kehidupan, dan pondasi ketahanan nasional.”
Ia menambahkan bahwa Seren Taun memiliki makna kuat dalam pendidikan karakter bangsa. “Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu memadukan nilai tradisi dan modernitas. Filosofi fleksibilitas dan semangat hidup orang Sunda memberi inspirasi untuk membangun Indonesia Emas, tanpa kehilangan jati diri.”
Sementara itu, Ketua Yayasan Fahmina, Marjuki, menegaskan bahwa Seren Taun adalah ruang kohesi sosial yang menghadirkan lintas agama, komunitas, dan generasi. “Ini bukan sekadar perayaan simbolik, tetapi wujud nyata nilai-nilai yang hidup dan diwariskan. Kehadiran lintas komunitas memperlihatkan bahwa tradisi ini adalah milik bersama, bagian dari kekayaan bangsa.”
Bupati Kuningan dan Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat turut menyampaikan apresiasi atas berlangsungnya acara ini dan berharap Seren Taun terus menjadi warisan budaya yang memperkuat identitas daerah sekaligus menjadi daya tarik wisata budaya.
Dengan panen padi yang surplus di Kabupaten Kuningan, acara ini menegaskan bahwa kekayaan budaya lokal mampu berkontribusi pada ketahanan pangan nasional — pondasi bagi ketahanan bangsa. []