Oleh: Marzuki Rais (Ketua Yayasan Fahmina)
Wilayah Ciayumajakuning Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan telah lama dikenal sebagai daerah religius. Di sinilah Sunan Gunung Jati menanamkan ajaran Islam yang penuh kasih dan kebijaksanaan. Pesannya yang terkenal, “Ingsun titip tajug lan fakir miskin,” menjadi simbol Islam Nusantara: Islam yang membela kaum lemah dan menghormati kemanusiaan.
Cirebon bukan hanya kota santri, tetapi juga kota sejarah lintas budaya. Sebagaimana nama “Caruban” atau Cirebon adalah campuran atau percampuran, mencerminkan kota Cirebon sebagai pusat pertemuan berbagai suku, bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, latar belakang, dan mata pencaharian yang berbeda-beda.Keberagaman ini menjadi ciri khas Cirebon sejak awal perkembangannya sebagai sebuah pedukuhan yang kemudian berkembang pesat karena kehadiran banyak pendatang yang ingin menetap atau berdagang. Di sini, pesantren dan keraton, kiai dan budaya lokal, santri dan pedagang, saling berdialog membentuk harmoni yang khas.
Menurut data Kementerian Agama, saat ini terdapat lebih dari seribu pesantren di wilayah Ciayumajakuning, belum termasuk ratusan madrasah dan majelis taklim di Indramayu, Majalengka, dan Kuningan. Dari lembaga-lembaga inilah lahir ribuan kiai, ustaz, dan guru ngaji yang mengajarkan Islam rahmatan lil ‘alamin, Islam yang memuliakan perbedaan.
Namun, ironi sejarah juga menyelimuti tanah wali ini. Di tengah kehidupan keagamaan yang semarak dan damai, benih-benih ekstremisme dan intoleransi justru tumbuh diam-diam, terutama sejak awal reformasi. Dari situ, muncul serangkaian peristiwa yang menguji kemanusiaan kita—dari penolakan rumah ibadah hingga ledakan bom bunuh diri di Masjid Mapolresta Cirebon.
Reformasi 1998 membuka kran kebebasan berpendapat dan berorganisasi. Namun, di sisi lain, kebebasan itu juga membuka ruang bagi tumbuhnya kelompok keagamaan eksklusif yang menolak keberagaman dan menentang tradisi lokal. Awal tahun 2000-an menjadi masa yang rawan. Di banyak tempat di Indonesia, termasuk Ciayumajakuning, muncul fenomena baru: kelompok-kelompok pengajian tertutup, ceramah yang menyerang kelompok lain, serta penyebaran doktrin takfiri—mengkafirkan sesama muslim.
Di wilayah Cirebon dan sekitarnya, beberapa kasus intoleransi mulai muncul secara terbuka, seperti penolakan pendirian rumah ibadah dan kegiatan keagamaan umat Kristen di Kabupaten dan Kota Cirebon, pembubaran kegiatan doa bersama lintas iman di Indramayu dan Kuningan, hingga penyerangan simbol budaya seperti larangan tahlilan dan ziarah kubur di beberapa desa. Ujaran kebencian di media sosial lokal juga meningkat setiap kali isu keagamaan nasional mencuat.

Setara Institute (2022) menempatkan Jawa Barat sebagai provinsi dengan tingkat intoleransi tertinggi di Indonesia. Cirebon termasuk dalam wilayah dengan beberapa kasus pelanggaran kebebasan beragama paling menonjol. Artinya, tantangan terbesar bukan hanya ekstremisme bersenjata, tetapi juga intoleransi sosial yang dibiarkan tumbuh.
Puncak dari radikalisasi yang berproses bertahun-tahun itu terjadi pada 15 April 2011, ketika sebuah bom bunuh diri meledak di Masjid Ad-Zikra, kompleks Mapolresta Cirebon. Pelaku bernama Muhammad Syarif, warga lokal, meledakkan diri saat salat Jumat berlangsung. Ia tewas di tempat, sementara 26 jamaah luka-luka, termasuk Kapolresta Cirebon Ajun Komisaris Besar Herukoco.
Peristiwa ini mengguncang Indonesia. Media nasional seperti Detik.com dan internasional seperti Al Jazeera menulis bahwa serangan ini adalah kasus pertama di Indonesia di mana masjid menjadi target bom. Ledakan itu bukan hanya mengoyak dinding masjid, tapi juga menyayat nurani publik: bagaimana mungkin rumah ibadah dijadikan tempat kematian?
Dari investigasi polisi dan Densus 88, terungkap bahwa Syarif merupakan bagian dari jaringan Cirebon—cabang kecil dari kelompok Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) yang berafiliasi dengan Abu Bakar Ba’asyir. Bom itu menjadi simbol perubahan: Cirebon yang dikenal religius kini dikaitkan dengan teror.
Pasca bom 2011, Densus 88 melakukan serangkaian operasi di wilayah Cirebon, Indramayu, dan Majalengka. Pada Oktober 2011, mereka menangkap Yadi Al Hasan, pimpinan sel teroris Cirebon yang masih terhubung dengan jaringan pelaku bom (ANTARA, 2011). Desember 2016, Dian Yulia Novi, perempuan asal Jamblang, Cirebon, ditangkap di Bekasi karena merencanakan bom panci (TIME, ABC News, Kompas, Detik). Tahun 2017, Imam Mulyana dan Suhendra ditangkap di Majalengka atas dugaan rencana penyerangan terhadap Presiden di Bandara Cakrabuana (CNN Indonesia). Tahun 2018, beberapa orang dari jaringan Cirebon terlibat dalam pemberontakan napi teroris di Mako Brimob yang menewaskan lima aparat kepolisian (The Jakarta Post, Al Jazeera, The Guardian).
Selanjutnya, dalam rentang 2019–2021, Densus kembali menangkap anggota Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan Negara Islam Indonesia (NII) di Cirebon dan Indramayu (Radar Cirebon, Kompas, Republika). Tahun 2022, Lutfi Rizky Ramdhan dan dua terduga lainnya dari jaringan JAD Cirebon–Poso ditangkap (Detik, Kompas). Tahun 2024, beberapa buronan lama ditangkap di Kabupaten Cirebon dan Kuningan, di antaranya anggota JAD yang sebelumnya bersembunyi di Majalengka (Radar Cirebon, Tribun, Antara).
Kini, sebagian besar dari mereka telah menjalani hukuman dan kembali hidup di tengah masyarakat. Menurut data BNPT, ada lebih dari 700 mantan narapidana terorisme di Indonesia, dan puluhan di antaranya berdomisili di Jawa Barat, termasuk wilayah Cirebon. Sebagian telah berubah dan berkomitmen untuk hidup damai. Mereka mengikuti program deradikalisasi dan reintegrasi sosial BNPT, bahkan terlibat dalam kegiatan sosial yang digerakkan oleh Fahmina Institute, Aman Indonesia, dan Fatayat NU.
Namun tantangan tetap besar. Banyak eks-napiter kesulitan mencari pekerjaan, ditolak oleh lingkungan, atau tidak memiliki keterampilan baru. Tanpa dukungan ekonomi dan sosial yang memadai, mereka bisa kembali terisolasi—situasi yang berpotensi memicu residivisme. Karena itu, pencegahan ekstremisme harus diikuti oleh kebijakan rehabilitasi dan reintegrasi sosial.

Pada tingkat nasional, pemerintah telah menyusun Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme (RAN PE) 2025–2029, kelanjutan dari Perpres No. 7 Tahun 2021. Dokumen ini menegaskan pentingnya pendekatan whole-of-government dan whole-of-society—pelibatan semua unsur pemerintah dan masyarakat dalam upaya pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan.
RAN PE berisi sembilan tema strategis: kesiapsiagaan nasional, ketahanan komunitas dan keluarga, pendidikan dan literasi, pemberdayaan perempuan, anak, dan pemuda, komunikasi strategis dan media, deradikalisasi dan reintegrasi sosial, hak asasi manusia dan tata kelola pemerintahan, perlindungan korban, serta kemitraan dan kerja sama internasional.
Untuk menerjemahkan strategi itu di level lokal, setiap provinsi dan kabupaten/kota wajib menyusun Rencana Aksi Daerah (RAD PE). Jawa Barat telah melakukannya melalui Pergub No. 40 Tahun 2022, dan kini Kabupaten Cirebon sedang menyiapkan dokumen serupa.
Ekstremisme bukan hanya masalah keamanan, melainkan masalah sosial, budaya, dan ekonomi. Karena itu, pencegahannya tidak bisa diserahkan hanya kepada BNPT atau Densus 88. Justru pemerintah daerah—melalui seluruh Organisasi Perangkat Daerah (OPD)—memegang peran paling strategis.
RAD PE menjadi alat koordinasi antar-OPD untuk membangun sistem ketahanan masyarakat. Bappeda dan Bakesbangpol dapat mengintegrasikan RAD PE ke dalam RPJMD dan APBD. Dinas Pendidikan dan Kemenag menyusun kurikulum moderasi beragama dan program Sekolah Damai. Diskominfo melawan ujaran kebencian dan hoaks lewat kontra-narasi digital. Dinas Sosial dan Disnaker memberi pelatihan ekonomi bagi keluarga rentan dan eks-napiter. DP3A dan PKK melatih perempuan sebagai agen perdamaian di desa. Dinas Pemuda dan Olahraga membina generasi muda dengan kegiatan toleransi dan literasi digital.
Melalui koordinasi lintas sektor, RAD PE menjadi kerangka kerja bersama untuk memperkuat ketahanan sosial dan mempersempit ruang gerak ideologi kekerasan. Masyarakat sipil memiliki peran vital dalam mengawal implementasi RAD PE. Lembaga seperti Fahmina Institute, Peace Generation, Yayasan Prasasti Perdamaian, dan Setara Institute selama ini menjadi garda depan dalam pendidikan toleransi, pendampingan eks-napiter, serta penguatan moderasi beragama di masyarakat.
Begitu pula pesantren, yang memiliki posisi strategis dalam mendidik generasi muda agar beragama dengan cinta, bukan amarah. Pesantren harus diperkuat bukan hanya sebagai lembaga pendidikan agama, tetapi juga pusat transformasi sosial dan nilai kemanusiaan. Program-program seperti Sekolah Damai Santri, Pelatihan Mubadalah, dan Dialog Antar Iman yang sudah digagas oleh Fahmina bisa diadopsi pemerintah daerah sebagai bagian resmi dari RAD PE.
Cirebon adalah tanah wali. Dari sini Islam menyebar dengan wajah yang ramah, bukan murka. Jika kini muncul narasi kebencian dan kekerasan atas nama agama, itu bukan karena ajaran Islam yang berubah, melainkan karena manusia yang kehilangan rasa welas asihnya.
Pencegahan ekstremisme bukan sekadar soal keamanan negara, melainkan soal memulihkan nilai-nilai kemanusiaan dan spiritualitas. RAD PE adalah jembatan antara iman dan kebijakan publik—memastikan bahwa dakwah, pendidikan, dan pembangunan berjalan seiring dalam menjaga kedamaian.
Cirebon, dengan sejarah wali dan pesantrennya, seharusnya menjadi contoh nasional tentang bagaimana daerah religius bisa sekaligus toleran dan inklusif. Inilah yang harus dijaga oleh semua pihak—dari pemerintah daerah, aparat, tokoh agama, hingga masyarakat sipil.
Ekstremisme tidak akan hilang dengan penangkapan semata. Ia hanya bisa dilenyapkan jika masyarakat diberi ruang untuk hidup adil, berpikir kritis, dan saling percaya. Itulah esensi dari Rencana Aksi Daerah Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme (RAD PE): membumikan nilai kemanusiaan dalam kebijakan publik, menghidupkan kembali pesan wali bahwa agama bukan sumber kekerasan, melainkan rahmat bagi semesta.
Dengan RAD PE, kita berharap Ciayumajakuning tidak lagi disebut sebagai daerah rawan ekstremisme, tetapi sebagai contoh keberhasilan sinergi antara iman, ilmu, dan kebijakan. Dari tanah wali ini, kita kirimkan pesan damai kepada seluruh Indonesia: bahwa agama sejati adalah kasih, dan kemanusiaan adalah panggilan tertinggi dari iman. []