Lembaga:

Dukung kami dengan donasi melalui Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58 a.n. Yayasan Fahmina

Pesan Alissa Wahid tentang Menikah: Tafsir Ulama Perempuan atas Kesiapan dan Kemandirian

Pernikahan bukan sekadar tangga sosial, melainkan komitmen yang lahir dari kesiapan jiwa dan kesadaran penuh akan pilihan hidup.

Oleh: Bryan Putra Anugerah*

Pernikahan bukan sekadar tangga sosial, melainkan komitmen yang lahir dari kesiapan jiwa dan kesadaran penuh akan pilihan hidup. Menikahlah karena siap, bukan karena tuntutan masyarakat.

Kalimat ini disampaikan Nyai Hj. Alissa Wahid dalam sambutan sekaligus pidatonya pada peringatan Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia di Masjid Puser Bumi, Desa Astana Gunung Jati, Cirebon, yang diselenggarakan oleh KUPI.

Bagi sebagian orang, ini mungkin terdengar seperti nasihat biasa. Namun jika direnungkan lebih dalam, kalimat tersebut adalah bentuk perlawanan halus terhadap budaya patriarki yang mengakar, di mana pernikahan sering kali diposisikan sebagai proyek sosial, bukan keputusan personal.

Sebagai seorang laki-laki, saya mendengar kalimat itu seperti gema dari ruang-ruang sunyi yang lama diabaikan. Betapa sering laki-laki, sebagaimana perempuan, dikejar pertanyaan, “Kapan menikah?”, tanpa pernah diberi cukup ruang untuk bertanya pada diri sendiri: “Apakah saya sungguh siap?”

Di balik pernyataan Alissa Wahid, ada seruan untuk mendekonstruksi cara masyarakat memaknai pernikahan. Bukan lagi sebagai lompatan status sosial, melainkan sebagai komitmen batin yang dibangun atas dasar kesadaran dan kesiapan. Seruan ini merupakan kelanjutan dari jejak panjang perjuangan ulama perempuan yang sejak lama melawan narasi dominan tentang peran dan pilihan hidup perempuan—termasuk dalam hal menikah.

Sejarah Indonesia mencatat bahwa ulama perempuan bukan hanya tokoh agama, tetapi juga agen perubahan sosial yang kritis. Nyai Khoiriyah Hasyim, misalnya, tidak hanya dikenal sebagai pendidik perempuan pertama di lingkungan pesantren besar, tetapi juga sebagai penghafal Al-Qur’an, pembicara di forum internasional, dan penafsir realitas sosial dari perspektif perempuan. Ia mendirikan pesantren putri pertama di Jombang, bukan hanya untuk mengajarkan fiqh, tetapi untuk melatih perempuan berpikir dan mengambil keputusan atas hidupnya sendiri.

Kita juga mengenal Rahmah El Yunusiyyah dari Sumatera Barat yang mendirikan Diniyah Puteri Padang Panjang. Sekolah ini tidak hanya mengajarkan agama, tetapi juga menjadikan perempuan sebagai aktor pendidikan, kesehatan, dan perubahan masyarakat. Ia bahkan mengirim murid-muridnya ke luar negeri, menunjukkan bahwa menjadi perempuan tak berarti dibatasi pada ruang domestik.

Apa yang mereka perjuangkan bukan semata-mata pendidikan, melainkan ruang untuk menjadi subjek atas hidupnya sendiri. Dalam konteks pernikahan, itu berarti: hak untuk memilih, menunda, atau bahkan tidak menikah tanpa stigma.

Kalimat Alissa Wahid tentang menikah karena siap adalah tafsir kontemporer atas perjuangan ulama perempuan. Mereka tidak menentang pernikahan sebagai institusi, tetapi menolak paksaan sosial yang menghilangkan makna sejati dari pernikahan itu sendiri. Mereka tidak meminta perempuan menjauhi rumah tangga, tetapi mengingatkan bahwa rumah tangga yang dibangun tanpa kesiapan adalah ladang luka, bukan ladang kasih.

Kita kerap membayangkan pernikahan sebagai tongkat estafet kehidupan: sekolah, kerja, lalu menikah. Padahal kehidupan bukan perlombaan. Ia lebih menyerupai perjalanan sunyi yang menuntut refleksi dan keberanian untuk memilih jalan yang mungkin tidak sama dengan orang lain.

Sayangnya, dalam masyarakat kita, keberanian untuk tidak menikah karena belum siap sering dianggap menyimpang. Terutama bagi perempuan, keputusan untuk menunda atau bahkan menolak menikah dianggap sebagai bentuk pemberontakan terhadap nilai “kodrat”. Padahal, justru dalam kebebasan menentukan itulah letak kemanusiaan kita dijunjung.

Ketika Nyai Hj. Alissa Wahid mengatakan bahwa kita harus menikah karena siap, ia bukan sedang membebaskan orang dari pernikahan, melainkan sedang membebaskan pernikahan dari keterpaksaan. Dan dalam semangat itu, laki-laki pun harus belajar bahwa kesiapan bukan hanya soal finansial atau usia, tetapi soal keberanian untuk berkomitmen dan bertumbuh dalam kesetaraan.

Di zaman ini, kita perlu lebih banyak keberanian untuk meneruskan tafsir kritis para ulama perempuan: bahwa agama tidak pernah memaksa seseorang menikah karena tekanan sosial. Bahwa Islam mengajarkan pernikahan sebagai ibadah yang dijalani dengan niat sadar, bukan pelarian dari tekanan kolektif.

Pesan Alissa Wahid seolah menyambung suara para Nyai yang telah mendahului kita. Dan hari ini, pesan itu tak hanya penting bagi perempuan, tapi juga bagi laki-laki: bahwa memilih waktu terbaik untuk menikah, atau tidak menikah sama sekali, adalah hak yang harus dilindungi—bukan dilemahkan oleh stigma.

Dalam dunia yang semakin bising dengan tuntutan sosial, kita perlu lebih banyak ruang untuk mendengarkan suara hati. Dan kadang, suara itu datang dari pidato seorang ulama perempuan yang dengan lembut tapi tegas berkata:

“Menikahlah karena siap, bukan karena tuntutan masyarakat.” []

*Penulis adalah Lingkar Fahmina, penggerak moderasi dan alumni Sekolah Agama dan Kepercayaan (SAK) Angkatan I.

Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58 a.n. Yayasan Fahmina

Terkait

Mengurai Akar Disabilitas dan Mendorong Pemberdayaan Difabel dalam Keluarga dan Masyarakat

Oleh: Zaenal Abidin Pelatihan penguatan hak-hak disabilitas yang digagas oleh Yayasan Fahmina kembali digelar untuk ketiga kalinya pada Jumat, 4...

Populer

Artikel Lainnya