Oleh: Zaenal Abidin
Tak lagi diabaikan, peran perempuan dalam mencegah ekstremisme kini menjadi sorotan. Hj. Neng Hannah dari Fatayat NU Jabar berbagi pengalaman advokasi yang memperjuangkan pelibatan perempuan dalam kebijakan pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan — dari akar rumput hingga pengesahan Pergub RAD PE di Jawa Barat.
Di balik narasi ekstremisme yang selama ini maskulin dan militeristik, ada potongan-potongan cerita tentang perempuan yang menjadi rekruter, penyandang dana, bahkan pelaku bom bunuh diri. Dalam forum RAN PE yang digelar di Cirebon, suara perempuan tidak lagi di pinggiran.
“Selama ini pendekatannya netral gender, padahal faktanya tidak netral. Perempuan tidak selalu jadi korban pasif. Mereka bisa jadi penggerak,” tegas Hj. Neng Hannah, Wakil Ketua PW Fatayat NU Jawa Barat.
Dari Korban jadi Kepala Keluarga
Hannah berkisah tentang seorang ibu yang harus menggantikan peran suaminya setelah ditangkap Densus 88, sambil mengatasi trauma anaknya yang menyaksikan penangkapan tersebut.
“Perempuan itu tak hanya kehilangan suami, tapi juga kehilangan ketenangan, pekerjaan, masa depan. Dan yang paling pahit, dia harus hadapi stigma,” ujar Hannah.
Cerita ini membuktikan bahwa perempuan menghadapi trauma berlapis: sosial, psikologis, ekonomi, dan ideologis. Namun mereka juga memiliki potensi menjadi agen perubahan — jika diberi ruang.
Fatayat dan Pergub RAD PE Jabar
Fatayat NU Jawa Barat menjadi salah satu penggagas lahirnya Pergub Jabar No. 40 Tahun 2022 tentang Rencana Aksi Daerah Pencegahan Ekstremisme. Dalam perjalanannya, Fatayat menyusun MoA dengan BNPT dan menghasilkan pedoman teknis.
“Kami berkali-kali harus ‘tempel’ Kesbangpol agar MoA kami direspons. Tapi kami tidak menyerah. Karena jika tidak sekarang, kapan lagi perempuan didengar dalam kebijakan?” tutur Hannah.
Bahkan dalam struktur RAD PE Jabar, Fatayat masuk sebagai bagian dari Pokja Pencegahan dan Pendampingan, sejajar dengan OPD seperti Dinsos, Disdukcapil, hingga BP3A.
Dari Resolusi PBB ke Akar Rumput
RAD PE bukan sekadar dokumen kebijakan. Bagi Fatayat, ia harus mampu menjawab mandat Resolusi Keamanan PBB No. 1325 tentang Pelibatan Perempuan dalam Konflik.
“Kalau negara serius, maka jangan hanya bicara HAM dan kesetaraan di atas kertas. Harus ada alokasi anggaran, pelibatan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi,” tegas Hannah.
Sayangnya, dalam draft terbaru Perpres tentang RAN PE 2025–2029, pelibatan perempuan masih dianggap tambahan, bukan keharusan. Bahasa yang digunakan pun masih netral gender.
Ruang untuk Masa Depan
Meski banyak tantangan, kehadiran masyarakat sipil seperti Fatayat dan Fahmina membuktikan bahwa narasi pencegahan ekstremisme bisa berubah — dari yang represif menjadi kolaboratif, dari yang maskulin menjadi setara.
“Yang kami perjuangkan adalah martabat. Bahwa dalam menghadapi kekerasan ekstremisme, perempuan bukan penonton, tapi pelaku pemulihan,” pungkas Hannah. []