Oleh: ‘Ulyatul Mukarromah
“Perubahan iklim bukanlah netral gender. Ia memperburuk ketimpangan yang sudah ada.”
— UN Women, 2025
Perubahan iklim tidak netral gender — sadar nggak sih? Perlu kita pahami bersama bahwa perubahan iklim bukan sekadar isu lingkungan. Ia juga merupakan masalah sosial yang memperparah ketidaksetaraan yang sudah ada, terutama terhadap perempuan.
Krisis iklim mengacu pada perubahan iklim global yang semakin memburuk dan mengancam ekosistem bumi serta kesejahteraan manusia. Istilah “krisis” dipilih untuk mencerminkan besarnya bahaya dan urgensi fenomena ini (Carrington, 2019).
Sejak tahun 1800-an, aktivitas manusia telah menjadi penyebab utama perubahan iklim, terutama akibat pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak, dan gas (UN Indonesia, n.d.).
Dalam berbagai situasi bencana, perempuan sering kali berada di garis depan, sebagai pengasuh, pencari air, dan penyedia kebutuhan rumah tangga. Maka ketika terjadi kelangkaan akibat perubahan iklim, beban perempuan meningkat secara signifikan. Akses mereka terhadap sumber daya, pendidikan, dan pengambilan keputusan pun masih sangat terbatas. Tidak dapat dimungkiri, krisis iklim memperbesar kerentanan ini.
Fenomena krisis iklim bukan terjadi sekali dua kali. Salah satu contohnya adalah daerah-daerah yang terdampak naiknya permukaan air laut hingga banjir rob. Perempuan menghadapi tantangan lebih kompleks — mulai dari ancaman terhadap kelangsungan hidup, meningkatnya risiko kekerasan berbasis gender akibat sulitnya sumber penghidupan, hingga kesulitan mengakses layanan kesehatan reproduksi yang sangat esensial.
“Pada tahun 2050, diperkirakan perubahan iklim dapat mendorong hingga 158 juta lebih perempuan dan anak perempuan jatuh ke dalam kemiskinan — 16 juta lebih banyak dari jumlah laki-laki dan anak laki-laki. Bahkan saat ini, 47,8 juta lebih perempuan menghadapi kerawanan pangan dan kelaparan dibanding laki-laki.”
— Perserikatan Bangsa-Bangsa, 21 April 2025
Perubahan iklim datang dalam berbagai rupa: cuaca mendung berkepanjangan, angin kencang, panas ekstrem melebihi biasanya, banjir, kekeringan, kelaparan, hingga kematian. Sayangnya, masyarakat sering luput akan kehadirannya. Banyak yang masih menganggap fenomena ini sebagai kehendak alam semata — sebagai sesuatu yang jauh dari campur tangan manusia.
Padahal, persepsi ini keliru. Perubahan iklim sangat erat kaitannya dengan ulah manusia dan berdampak langsung terhadap kehidupan manusia. Misalnya, jika kita bertanya pada orang tua atau pendahulu kita tentang cuaca di Indonesia, mereka bisa memperkirakan waktu musim hujan dan kemarau. Meskipun kadang meleset, prediksi mereka masih cukup tepat.
Para petani dulu tidak selalu mengeluh karena gagal panen atau diserang hama, karena mereka memiliki warisan pengetahuan iklim dan keanekaragaman hayati. Tapi sekarang? Warisan dan prediksi itu ditantang oleh perubahan iklim, membuat mereka kebingungan.
Sesederhana apa pun usaha kita menjaga alam sekitar, masih saja ada cemoohan dari orang lain, seolah hal tersebut tidak berarti apa-apa. Ini juga yang memengaruhi relasi sosial — antara masyarakat dengan masyarakat lainnya, individu dengan individu lainnya, termasuk antara laki-laki dan perempuan.
Dalam situasi krisis, risiko kekerasan terhadap perempuan meningkat. Banjir yang diakibatkan krisis lingkungan menurunkan produktivitas pertanian, merusak lahan dan tanaman, serta menghanyutkan hasil panen. Akibatnya, perempuan yang bekerja di sektor pertanian kehilangan mata pencaharian dan makin terpuruk secara ekonomi.
Dalam kegentingan yang disebabkan oleh perubahan iklim, perempuan memiliki dua sisi yang kuat. Di satu sisi, mereka sangat rentan. Di sisi lain, mereka juga menunjukkan kekuatan luar biasa sebagai aktor perubahan. Perempuan tidak hanya korban, tetapi juga penggerak yang mampu menghadirkan solusi inovatif dalam menghadapi krisis.
Krisis iklim memberikan gambaran nyata tentang tantangan yang dihadapi masyarakat — terutama perempuan. Namun, dari sana pula kita bisa menggali potensi dan solusi yang dapat dikuatkan lewat kebijakan, program, dan kolaborasi yang lebih inklusif.
Menyikapi krisis iklim, kita semua membutuhkan kolaborasi lintas sektor dan pengarusutamaan perspektif gender dalam setiap kebijakan dan aksi. Peran perempuan dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim — melalui pengetahuan lokal dan aksi komunitas — sangat penting untuk terus diakui dan diperkuat.
Mari menjadi pribadi yang sadar akan pentingnya menjaga dan peduli lingkungan, tanpa melupakan pemberdayaan perempuan. Langkah kecil kita akan sangat berarti bagi masa depan bumi. []