Lembaga:

Dukung kami dengan donasi melalui Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58 a.n. Yayasan Fahmina

Peran Pendidikan dalam Membangun Toleransi dan Kesadaran Lintas Agama di Era Digital

Oleh: Muhammad Nashrul Abdillah

Indonesia dikenal sebagai negara dengan keberagaman yang luar biasa. Berbagai suku, bahasa daerah, dan agama hidup berdampingan dalam satu kesatuan bangsa. Namun, menjaga harmoni di tengah keragaman tersebut bukanlah perkara mudah, terutama di era digital saat arus informasi berkembang sangat pesat dan persebarannya nyaris tanpa batas.

Pendidikan memegang peranan sentral dalam membentuk karakter generasi muda agar mampu hidup rukun dalam perbedaan. Ia bukan hanya instrumen untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi juga menjadi benteng penting dalam menanamkan nilai-nilai toleransi dan kemanusiaan.

Hasil survei Pusat Media Damai (PMD) BNPT pada tahun 2024 mencatat temuan yang menarik sekaligus mengkhawatirkan: meskipun mayoritas pelajar menolak penerapan sistem agama tertentu dalam pemerintahan, banyak dari mereka justru merasa lebih nyaman berinteraksi dengan teman yang seagama—baik dalam kehidupan sehari-hari maupun di media sosial. Fenomena ini mengindikasikan adanya kecenderungan intoleransi pasif.

Memahami Intoleransi Pasif

Intoleransi pasif bukan berarti menolak perbedaan secara terbuka, melainkan muncul dalam bentuk sikap tertutup dan tidak sadar, seperti enggan bergaul dengan individu berbeda keyakinan atau merasa canggung dalam lingkungan yang beragam. Meski tidak tampak sebagai konflik langsung, sikap seperti ini dapat mengikis rasa kebersamaan dan memperlebar jurang sosial dalam masyarakat.

Penelitian Setara Institute tahun 2022 menemukan bahwa kecenderungan eksklusivisme seperti ini sering kali muncul di lingkungan sekolah. Tanpa pembinaan nilai-nilai toleransi yang kuat, pelajar mudah terpengaruh oleh narasi sempit dan eksklusif yang memicu kecurigaan bahkan kebencian terhadap pihak yang berbeda.

Pendidikan sebagai Solusi Kunci

Untuk mengatasi intoleransi pasif, pendidikan harus menjadi garda terdepan. Pendidikan tidak cukup hanya mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi juga wajib menanamkan nilai empati, gotong royong, dan penghargaan terhadap keberagaman. Menurut UNESCO (2021), sistem pendidikan yang ideal adalah yang mampu menumbuhkan kesadaran peserta didik akan pentingnya hidup damai dalam keberagaman.

Sekolah dapat menanamkan toleransi melalui berbagai metode: diskusi lintas budaya dan agama, kegiatan proyek sosial bersama, atau program pertukaran pengalaman antar siswa. Wahid Foundation mencatat pada tahun 2020 bahwa sekolah-sekolah yang rutin menggelar dialog antarumat beragama cenderung memiliki pelajar yang tidak mudah terprovokasi oleh isu-isu SARA.

Era Digital: Tantangan dan Peluang

Media sosial kini menjadi ruang pergaulan utama generasi muda. Di lingkungan sekolah, penggunaan media sosial mungkin bisa dikontrol. Namun di luar sekolah, mereka bebas mengakses informasi dari berbagai sumber tanpa batasan waktu maupun tempat. Sayangnya, ruang digital juga dipenuhi oleh hoaks, ujaran kebencian, dan propaganda radikal.

Laporan Maarif Institute tahun 2023 menyebutkan bahwa banyak siswa SMA dan mahasiswa aktif bermedia sosial, namun hanya sebagian kecil dari mereka yang mampu memilah informasi yang akurat dan bermanfaat. Hal ini menunjukkan urgensi literasi digital sebagai bagian integral dalam sistem pendidikan, termasuk pembelajaran tentang etika bermedia dan nilai-nilai kemanusiaan.

Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah meluncurkan berbagai program untuk meningkatkan literasi digital, salah satunya program “Digital Civility” yang bekerja sama dengan Microsoft. Program ini bertujuan menanamkan etika sopan santun dan tanggung jawab dalam bermedia. Namun, keberhasilan program-program ini juga sangat bergantung pada keterlibatan aktif sekolah dan orang tua dalam mendampingi anak-anak mereka.

Menggali Kearifan Lokal untuk Toleransi

Indonesia memiliki kekayaan budaya lokal yang sarat dengan nilai-nilai toleransi. Tradisi gotong royong, musyawarah, dan saling membantu telah mengakar dalam kehidupan masyarakat. Di berbagai daerah, hidup damai antaragama telah lama menjadi praktik nyata. Misalnya, tradisi pela gandong di Maluku mengikat persaudaraan antara komunitas Muslim dan Kristen. Di Minahasa, budaya mapalus mencerminkan kerja sama lintas latar belakang, sementara di Bali, umat Hindu dan Muslim saling terlibat dalam kegiatan adat maupun sosial.

Kearifan lokal semacam ini patut diintegrasikan ke dalam kurikulum maupun kegiatan ekstrakurikuler, agar siswa tidak hanya belajar toleransi secara teoritis, tetapi juga mengalami langsung praktik hidup bersama dalam keberagaman.

Kolaborasi Guru dan Orang Tua

Guru bukan sekadar pengajar mata pelajaran, tetapi juga pembimbing moral dan teladan sikap. Guru yang terbuka, inklusif, dan peka terhadap isu-isu keberagaman akan memberi pengaruh positif yang mendalam pada cara pandang murid-muridnya. Di sisi lain, orang tua juga memiliki peran penting sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak-anak. Keluarga adalah tempat anak pertama kali belajar membedakan benar dan salah, termasuk dalam menyikapi perbedaan keyakinan.

Sinergi antara guru dan orang tua menjadi fondasi kuat dalam membangun generasi yang toleran, terbuka, dan mampu hidup damai dalam keberagaman.

Menumbuhkan Toleransi Sejak Dini

Toleransi bukanlah sesuatu yang muncul dengan sendirinya. Ia harus diajarkan, dipraktikkan, dan dibiasakan sejak dini. Pendidikan memiliki peran yang amat besar dalam membentuk generasi muda yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga dewasa secara emosional dan sosial. Dalam masyarakat yang majemuk seperti Indonesia, toleransi aktif bukan pilihan, melainkan kebutuhan bersama untuk mewujudkan masa depan yang damai, adil, dan inklusif. []

Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58 a.n. Yayasan Fahmina

Terkait

Bukan Pedang tapi Pelukan: Dakwah Nusantara Merawat Moderasi di Tengah Radikalisasi Virtual

Oleh: Muhammad Nashrul Abdillah "Di tengah radikalisasi virtual, yang kita butuhkan bukan pedang, melainkan pelukan yang meneduhkan." Keseimbangan antara nilai universal...

Populer

Artikel Lainnya