Oleh: Zaenal Abidin
“Gak ada orang yang tertinggal, salah satunya teman-teman disabilitas.” Kalimat sederhana itu diucapkan Alifatul Arifiati, membuka pelatihan bertajuk Penguatan Hak-Hak Disabilitas bagi Ulama Perempuan pada Jumat, 13 Juni 2025. Kalimat itu seperti membunyikan lonceng kesadaran kolektif: bahwa perjuangan keulamaan perempuan tidak bisa dipisahkan dari pembelaan pada mereka yang paling rentan.
Berlangsung daring, pelatihan ini adalah pertemuan pertama dari tiga sesi yang dirancang Yayasan Fahmina bersama Jaringan Muda Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Peserta hadir dari lima wilayah: Cirebon, Semarang, Malang, Yogyakarta, dan sekitarnya—meliputi para nyai pesantren, akademisi, penyuluh agama, hingga orang tua dari anak-anak dengan disabilitas.
Tawassul, Ikrar, dan Komitmen
Acara dibuka dengan tawassul yang dipimpin oleh Ibu Rindang Farihah, dilanjutkan dengan pembacaan Ikrar Jaringan Muda KUPI oleh Nyai Siti Rofiah dari Jepara. Dalam ikrar tersebut, para ulama muda perempuan menegaskan komitmennya membela mereka yang terpinggirkan dan menolak ekstremisme yang mengoyak harmoni bangsa.
“Ulama perempuan adalah mereka yang memiliki kesadaran untuk berkhidmat secara adil,” ujar Alifatul. “Tak harus berada di podium, di kampus, atau pesantren besar. Tapi siapa saja yang bersuara dan bertindak demi kemaslahatan, adalah ulama.”
Mengakui Keterbatasan, Menguatkan Martabat
Dalam sambutannya, Rozikoh M.Pd dari Yayasan Fahmina menekankan bahwa penyandang disabilitas adalah bagian tak terpisahkan dari masyarakat. Namun kenyataan menunjukkan masih banyak hambatan yang menghalangi partisipasi penuh mereka, termasuk di ruang-ruang keagamaan.
“Data BPS menunjukkan 8,5 persen penduduk Indonesia adalah penyandang disabilitas. Namun tempat ibadah, pesantren, dan madrasah belum ramah disabilitas,” kata Rozikoh. “Di sinilah pentingnya pelibatan ulama perempuan untuk mewujudkan ruang-ruang ibadah yang inklusif.”
Menggeser Perspektif: Dari yang Diperjuangkan Menjadi yang Memperjuangkan
Kiai Faqih Abdul Kodir, pembina Yayasan Fahmina dan salah satu motor intelektual KUPI, mengajak para peserta merenung lebih dalam: bahwa setiap manusia, pada hakikatnya, adalah makhluk yang lemah. “Kita semua punya sisi difabel,” ujar Faqih. “Namun mereka yang secara sosial dan keagamaan belum punya ruang, harus kita berikan otoritas.”
Kiai Faqih menyoroti bahwa selama ini fikih difabel masih didominasi oleh narasi dari mereka yang nondifabel. “Padahal seperti halnya pengalaman perempuan melahirkan kesadaran KUPI, kita juga butuh fikih disabilitas yang lahir dari pengalaman langsung para difabel itu sendiri.”
Menurutnya, ulama perempuan bisa menjadi penghubung dan penyedia panggung bagi mereka yang selama ini terabaikan.
Dari Lapangan ke Panggung Advokasi
Hadir dalam pelatihan ini berbagai tokoh dan praktisi, di antaranya Tutik Hamidah (UIN Malang), Rasyidah (PP Al Hayat Malang), Rohmani Nur Indah (UIN Malang, juga ibu dari dua anak disabilitas intelektual), Wiwin Rohmawati dan Rindang Farihah dari Yogyakarta, serta para aktivis Sahabat Tuli dari Salatiga.
Widi Utami dari Sahabat Tuli Salatiga, misalnya, menyampaikan bagaimana selama ini akses ibadah bagi difabel masih minim. “Saya tidak bisa mendengar, tapi saya bersyukur hari ini ada gerakan keagamaan yang melihat kami,” katanya.
Dari Cirebon, hadir pula akademisi dan aktivis seperti Asih Widyowati (Umah Ramah dan ISIF), Amelia Handayani (UIN SSC), serta para penyuluh dan guru pesantren.
Mendobrak Narasi, Membangun Akses
Pelatihan hari itu difasilitasi oleh Nurul Saadah Andriani, Magister Hukum UGM, yang juga seorang perempuan dengan disabilitas. “Saya punya hambatan mobilitas dan memakai tongkat,” katanya. “Tapi saya seorang ibu, pendamping hukum, dan penulis kebijakan.”
Selama lebih dari dua dekade, Nurul aktif dalam penyusunan regulasi inklusif, mulai dari desain akses pengadilan bagi difabel hingga kebijakan kesehatan. Dalam sesi pertamanya, ia mengajak peserta memahami disabilitas sebagai konstruksi sosial, dan pentingnya membedakan antara ‘kekurangan’ biologis dan hambatan sosial yang diproduksi oleh lingkungan.
“Diskusi seperti ini perlu terus dilakukan,” tegas Nurul. “Bukan sekadar agar difabel didengar, tapi agar mereka ikut membentuk sistem, menyusun fikihnya sendiri.”
Dari Kesadaran Menuju Gerakan
Pelatihan ini bukan akhir, tapi permulaan. Dalam dua pertemuan selanjutnya, para peserta akan menggali lebih jauh pengalaman, pendekatan fikih, dan strategi advokasi lokal. Ke depan, diharapkan lahir modul-modul ajaran agama yang inklusif dan forum-forum kabupaten yang mengawal hak-hak disabilitas.
Sebagaimana disampaikan Kiai Faqih, “KUPI bukan hanya ruang bagi perempuan, tapi juga untuk mereka yang belum memiliki ruang yang utuh. Kita semua harus menjadi jembatan keadilan, memuliakan mereka yang selama ini dipinggirkan,” tukasnya.