Oleh: Zaenal Abidin
Pelatihan penguatan hak-hak disabilitas yang digagas oleh Yayasan Fahmina kembali digelar untuk ketiga kalinya pada Jumat, 4 Juli 2025. Dalam sesi terakhir ini, fokus diskusi tertuju pada dua tema penting: memahami penyebab disabilitas secara komprehensif dan strategi pemberdayaan difabel dalam keluarga dan masyarakat.
Dipandu oleh Komala Dewi, forum ini menghadirkan narasumber utama Nurul Saadah dari SAPDA (Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak), serta diikuti oleh para Nyai dari kalangan ulama perempuan, peserta magang, dan pegiat sosial.
Komala membuka dengan refleksi atas dua sesi sebelumnya yang telah membahas definisi disabilitas, siklus hidup penyandang disabilitas, serta konstruksi gender dan seksualitas.
“Kini kita masuk ke ranah yang lebih praktis—bagaimana memahami akar permasalahan disabilitas dan memberdayakan mereka secara nyata,” ujarnya.
Dalam sesi awal, muncul berbagai pertanyaan dari peserta tentang penyebab disabilitas. Halimah, misalnya, mempertanyakan apakah stunting dan makanan kemasan berpengaruh pada kelahiran anak disabilitas. Kang Toah dari Cirebon menyampaikan pengalamannya merawat adik dengan down syndrome dan mempertanyakan apakah pernikahan antar kerabat berkontribusi terhadap kondisi tersebut.
Menanggapi hal itu, Nurul Saadah menjelaskan secara rinci bahwa penyebab disabilitas sangat beragam, mulai dari faktor genetik, kekurangan gizi saat hamil, konsumsi obat tertentu, hingga trauma akibat bencana alam dan kecelakaan kerja.
“Saya sendiri penyandang disabilitas akibat virus polio. Tapi banyak teman di Jogja yang kehilangan fungsi tubuh karena gempa bumi. Jadi, penyebabnya bisa sangat kompleks,” jelasnya.
Ia juga menekankan pentingnya edukasi terkait kehamilan sehat dimana harus memperhatikan betul nutrisi yang dapat diserap oleh janin stiap semesternya. “Tiga bulan pertama adalah masa pembentukan otak janin, jika saat itu ibu mengalami sakit berat, konsumsi obat tertentu, atau kurang nutrisi, dampaknya bisa ke perkembangan otak, pendengaran, hingga motorik,” ujar Nurul.
Menariknya, diskusi tak hanya sebatas medis. Nurul membongkar stigma yang masih hidup di masyarakat, seperti anggapan bahwa disabilitas adalah kutukan atau hasil perbuatan dosa.
“Pemahaman seperti ini harus dihentikan. Kita perlu mendekatinya dengan empati dan ilmu pengetahuan,” tegasnya.
Selain faktor penyebab, pelatihan ini juga membahas pendekatan pemberdayaan difabel. Nurul menjelaskan bahwa meski pemerintah telah mengatur kuota 1% tenaga kerja untuk difabel, implementasinya masih terhambat oleh akses informasi, keterbatasan soft skill dan hard skill, serta minimnya akomodasi layak.
Peserta seperti Nadiya dari Yogyakarta berbagi keinginan untuk mendampingi santri difabel agar lebih memahami agama. “Saya ingin membantu mereka belajar Islam dengan cara yang sesuai. Saya yakin mereka punya semangat dan kemampuan, tinggal kita yang harus belajar cara mendampingi,” katanya.
Komala Dewi menegaskan bahwa pemberdayaan difabel tidak bisa dilakukan dalam satu dua kali pertemuan. “Isu ini multidimensi. Kita perlu belajar terus menerus untuk memahami kebutuhan mereka secara utuh,” katanya. Ia juga menyampaikan pentingnya peran komunitas, pesantren, dan keluarga dalam mendukung difabel agar lebih mandiri dan berdaya.
Di akhir sesi, Nurul kembali mengingatkan bahwa disabilitas tidak selalu terlihat di permukaan. Ada difabilitas psikososial yang muncul akibat trauma dan tekanan mental.
“Itu sebabnya kita tidak hanya perlu fasilitas, tapi juga perspektif. Sebab yang paling melemahkan bukan disabilitas itu sendiri, tapi masyarakat yang belum siap mendampingi,” ujarnya.
Pelatihan ini menegaskan bahwa membangun masyarakat inklusif bukan hanya soal regulasi atau kuota pekerjaan. Ia membutuhkan kesadaran kolektif, pengetahuan ilmiah, dan kepedulian nyata dari seluruh elemen masyarakat—terutama keluarga, pendidikan, dan komunitas keagamaan.
Yayasan Fahmina bersama SAPDA membuka ruang-ruang pembelajaran yang kritis dan reflektif, menjembatani ilmu pengetahuan, pengalaman nyata, dan nilai-nilai keadilan sosial demi masa depan yang setara bagi semua, termasuk penyandang disabilitas. []