Oleh: Zaenal Abidin
“Islam adalah rahmat bagi semesta, termasuk bagi mereka yang selama ini dipandang sebelah mata karena disabilitas,” begitu pembuka pertemuan ke-2 kegiatan penguatan hak-hak penyandang disabilitas yang digelar yayasan Fahmina pada Jumat, 20 Juni 2025.
Kegiatan ini dilangsungkan sebagai lanjutan dari sesi sebelumnya, dengan fokus pada pembahasan siklus hidup penyandang disabilitas serta kaitannya dengan tantangan struktural dan budaya.
Acara dibuka oleh Roziqoh dan dilanjutkan dengan pembacaan tawasul dan Ikrar KUPI Jepara oleh Prof. Tutik Hamidah. Dalam suasana khidmat, peserta diajak menyelami bahwa perjuangan membela hak-hak disabilitas bukan sekadar kerja advokasi teknis, melainkan bagian dari spiritual calling.
Dalam sambutannya, Marzuki Rais, Ketua Yayasan Fahmina, menekankan pentingnya keterlibatan tokoh agama seperti nyai dan kiai dalam merespons isu-isu disabilitas. Menurutnya, penyandang disabilitas sering kali dianggap “tidak normal” atau bahkan “kutukan”. Padahal, dalam perspektif Islam, yang menjadi ukuran mulia tidak lain adalah ketakwaan, bukan kondisi tubuh.
“Sebagai manusia, kita harus memiliki pandangan bahwa mereka makhluk Tuhan dan harus dimuliakan sebagaimana manusia lainnya,” ujarnya.
Fahmina, lanjut Marjuki, sejak awal memang memilih posisi di tengah, menjadi lembaga yang memperjuangkan keadilan sosial, walau isu-isu yang diangkat tak selalu populer secara politik. Hal ini sejalan dengan visi menjadikan agama sebagai kekuatan transformatif yang membela hak-hak kelompok marjinal, termasuk penyandang disabilitas.
Usai sesi spiritual dan reflektif, forum dilanjutkan dengan pemaparan Nurul Saadah, narasumber yang selama ini mendampingi kelompok disabilitas. Ia menguraikan bahwa tantangan yang dihadapi penyandang disabilitas tidak tunggal, melainkan berlapis: mulai dari faktor tubuh, lingkungan sosial, hingga kebijakan publik.
Nurul memetakan berbagai jenis disabilitas yaitu fisik, intelektual, mental, sensorik, dan ganda serta dinamika siklus hidup mereka dari masa kanak-kanak hingga lansia. Ia menyoroti bahwa banyak penyandang disabilitas tidak mendapatkan dukungan yang layak dalam pendidikan, pekerjaan, atau akses publik karena hambatan sosial dan struktural yang saling bertumpuk.
“Saya sendiri penyandang disabilitas yang menggunakan tongkat. Tapi saya tidak hanya terhambat karena tubuh saya, tapi juga oleh masyarakat dan sistem yang membatasi,” tuturnya.
Diskusi semakin hidup ketika Erik S. Rahmawati membagikan pengalaman pribadinya sebagai penyintas pendarahan otak yang mengubah perkembangan mentalnya. Ia menyatakan bahwa siklus hidupnya secara fisik tampak normal, tapi secara psikologis mengalami keterlambatan.
Sementara itu, Halimatus, orang tua dari dua anak yang bersekolah di lingkungan inklusi, mengisahkan betapa pengalamannya membangun empati dan hubungan yang hangat dengan anak-anak disabilitas turut mengubah dirinya. Bahkan, ia kini mengelola lembaga pendidikan yang menerima santri penyandang disabilitas.
“Hidup itu akan indah jika bisa saling mengisi kebutuhan,” katanya, lirih.
Kisah-kisah ini menjadi pengingat bahwa penyandang disabilitas bukan objek kasihan. Mereka punya kehendak, kecerdasan, dan nilai-nilai luhur. Yang mereka butuhkan adalah lingkungan yang adil, empatik, dan mendukung. Dalam ruang sosial maupun spiritual, mereka adalah manusia seutuhnya. []