Oleh: Zaenal Abidin
Dalam rangkaian kegiatan Pelatihan Penguatan Hak-Hak Disabilitas bagi Ulama Perempuan yang diselenggarakan oleh Yayasan Fahmina, para peserta diajak menggali lebih dalam pemahaman mengenai disabilitas, bukan sekadar sebagai kondisi fisik, tetapi sebagai konstruksi sosial yang dipengaruhi oleh lingkungan, kebijakan, serta cara pandang masyarakat.
Kegiatan ini diikuti oleh 25 ulama perempuan dari berbagai kota seperti Cirebon, Yogyakarta, Semarang, Malang, dan Tulungagung. Pelatihan ini dipandu oleh Nurul Saadah Andriani, advokat hukum disabilitas dan fasilitator berpengalaman dalam isu-isu inklusi pendiri Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA Jogj).
Menembus Batas: Disabilitas dalam Lensa Sosial dan Keagamaan
Siti Rofiah, peserta asal Semarang, menyoroti keterbatasan bahasa sebagai hambatan utama dalam dunia pendidikan keagamaan. “Tidak semua guru ngaji bisa terkoneksi langsung dengan penyandang disabilitas karena keterbatasan pemahaman bahasa dan akses,” ujarnya.
Senada dengan itu, Saadah, fasilitator pelatihan, mengingatkan bahwa lebih dari 8% populasi Indonesia adalah penyandang disabilitas, baik yang terlihat secara fisik maupun tidak. “Disabilitas bukan sekadar soal tubuh yang berbeda, tetapi juga lingkungan yang tidak mendukung. Hambatan sosial, infrastruktur, dan stigma masih menjadi penghalang utama,” tegasnya.
Disabilitas: Beragam, Bukan Tunggal
Dalam sesi pembelajaran, peserta diajak memahami lima ragam utama disabilitas:
-
Fisik: Hambatan pada fungsi gerak seperti lumpuh atau amputasi.
-
Intelektual: Hambatan dalam berpikir, memahami, atau mengingat akibat IQ di bawah rata-rata.
-
Mental: Gangguan pada kondisi jiwa seperti bipolar atau depresi.
-
Sensorik: Hambatan pada penglihatan, pendengaran, atau wicara.
-
Ganda: Kombinasi dari dua atau lebih jenis disabilitas.
Diskusi kelompok memperdalam pemahaman ini dengan menggali dampak masing-masing jenis disabilitas terhadap aktivitas harian, sosial, hingga kondisi psikologis.
Suara dari Lapangan: Stigma, Kekerasan, dan Minimnya Fasilitas
Murni, pengasuh pesantren tuli di Jepara, berbagi bahwa difabel fisik masih sering menghadapi perundungan, kekerasan, bahkan eliminasi sosial. “Stigma tetap membekas walau sudah belajar di SLB. Infrastruktur belum ramah dan fasilitas publik masih minim,” ujarnya.
Iin dari Malang menambahkan, tunanetra mengalami keterbatasan akses pada media belajar dan belum tersedia buku-buku yang ramah netra. Di sisi lain, kelompok lain menyoroti persepsi sempit masyarakat seperti anggapan bahwa tunanetra hanya bisa menjadi tukang pijat, atau penyandang disabilitas mental dianggap “orang gila”.
Hambatan Struktural: Pendidikan Belum Inklusif
Masalah pendidikan menjadi sorotan besar. “Sekarang kita bicara pendidikan inklusi, tapi realitanya belum semua sekolah siap,” ujar Siti Rofiah. Hal ini dikuatkan oleh Wiwin dari Yogyakarta, yang menyampaikan bahwa mahasiswa little people kesulitan karena tidak bisa menjangkau fasilitas seperti lift, dan minimnya juru bahasa isyarat di kampus.
Belajar Memahami, Bukan Mengasihani
Pelatihan ini ditutup dengan penekanan penting dari Nurul Saadah bahwa pendekatan terhadap penyandang disabilitas tidak boleh diseragamkan. Masing-masing memiliki karakteristik, hambatan, dan dampak psikososial yang unik. “Disabilitas bukan untuk dikasihani, tapi untuk dipahami. Mereka berhak hidup mandiri, bermartabat, dan berkontribusi dalam masyarakat,” pungkasnya. []