Oleh: Zaenal Abidin
Puser Bumi, Gunung Sembung – Di tengah kehijauan yang menyelimuti kompleks keramat Gunung Sembung, gema solawat Musawa dan Mubadalah menggema di Masjid Puser Bumi. Majelis Dzikir Pikir Puser Bumi siang itu, 21 April 2025, menghadirkan suasana spiritual sekaligus kepedulian—karena dzikir kali ini bukan hanya soal ibadah, tapi juga soal peradaban.
Dihadiri para tokoh agama, budaya, aktivis, dan politisi, majelis ini digagas untuk menghidupkan kembali semangat musyawarah para wali—sebagaimana dahulu tempat ini diyakini sebagai titik berkumpulnya para Wali Songo. Namun kali ini, musyawarah itu bukan untuk membangun kerajaan, melainkan membangun keadilan sosial dengan spiritualitas sebagai pondasi utamanya.
Spiritualitas sebagai Jalan Transformasi
Sultan Kanoman Sultan Saladin XII membuka majelis dengan harapan agar dzikir ini menjadi ruang kebaikan. Sebuah doa pendek, namun bermakna dalam ketika diikuti oleh rangkaian refleksi dan rencana konkret yang disampaikan oleh Rieke Diah Pitaloka, Ketua Majelis Dzikir Budaya sekaligus politikus perempuan anggota DPR RI Fraksi PDIP.
“Transformasi sosial untuk keadilan kemanusiaan melalui Cirebon adalah misi kita. Kita ingin menjadikan tempat ini sebagai kantong kebudayaan. Ruang di mana kita tumbuh bersama, menyampaikan gagasan, membangun praktik, dan mewujudkan nilai-nilai keadilan yang sejati,” ungkap Rieke.
Ia menyebut arah kebijakan transformasi ini mencakup bidang kesejahteraan, pendidikan, kesehatan, pekerjaan dan jaminan sosial, kehidupan sosial, perlindungan hukum dan HAM, serta pembangunan lingkungan hidup yang adil. “Tahap awalnya, kita bentuk tim perumus. Kita bisa bertemu sebulan sekali, dua minggu sekali, atau sesuai kebutuhan. Yang penting, ini menjadi ruang dzikir dan pikir,” tambahnya.
Menghidupkan Warisan Wali, Menguatkan Peran Perempuan
Majelis ini tidak hanya bersandar pada romantisme sejarah. Ia digerakkan oleh upaya kritis untuk mengangkat kembali peran-peran spiritual yang selama ini tenggelam, khususnya peran perempuan.
Masruchah, aktivis yang juga sekretaris Majelis Musyawarah KUPI mengingatkan bahwa di Cirebon, kesetaraan spiritual bukan hal baru. “Makam Sunan Gunung Jati berdampingan dengan ibundanya. Ini simbol bahwa spiritualitas laki-laki dan perempuan sama pentingnya,” katanya. Ia menekankan bahwa dzikir tidak berhenti sebagai ritual, melainkan juga jalan pembebasan.
KH. Husein Muhammad, pendiri Fahmina, mengajak untuk membaca kembali tradisi sebagai sumber pengetahuan. “Kami mendirikan Fahmina atas dasar keyakinan bahwa perubahan besar dimulai dari dalam diri dan lingkungan kita sendiri. Tradisi para wali harus kita gali dan kontekstualisasikan,” ucapnya. Ia mengusulkan agar majelis ini dikembangkan menjadi ruang berpikir—bukan hanya berdzikir.
Dr. Faqihuddin Abdul Kodir menambahkan bahwa dzikir budaya ini patut dipimpin oleh perempuan. Ia menyebut tokoh-tokoh perempuan Cirebon seperti Syarifah Mudaim dan Nyimas Gandasari yang perannya belum banyak dikenal.
“Kita punya warisan kultural yang memberi ruang bagi kepemimpinan perempuan. Bahkan menurut Ibnu Arabi, Tuhan lebih mudah didekati dengan cara feminin. Maka, dzikir ini adalah ruang spiritual yang ramah bagi perempuan. Dan laki-laki mendukung penuh,” ujarnya.
Langkah Awal Sebuah Gerakan
Dzikir Budaya di Puser Bumi bukan akhir, melainkan awal. Rieke mengusulkan agar majelis ini menjadi ruang pertemuan rutin yang melahirkan pemikiran dan aksi. Ketua DPRD Cirebon, Sofi—perempuan pertama dalam sejarah lembaga itu—juga hadir dan menyatakan dukungan.
Majelis ini menjadi ruang penyemaian gagasan dan strategi. Ke depan, ia dirancang sebagai forum tahunan atau bahkan lima tahunan untuk mempertemukan jejaring yang peduli pada keadilan gender, keberlanjutan lingkungan, dan spiritualitas Nusantara yang membebaskan.
Seperti wasiat Sunan Gunung Jati: “Ingsun titip tajug lan fakir miskin.” Wasiat itu bukan hanya tentang tempat ibadah dan kaum dhuafa, melainkan tentang menjaga nalar spiritualitas agar senantiasa berpihak pada yang lemah dan termarjinalkan.
Majelis Dzikir Budaya ini adalah salah satu upaya mewujudkan wasiat itu. Dari Cirebon, dari Puser Bumi, suara dzikir yang penuh cinta dan kesadaran sosial kembali menggema. Dan semoga dari sini, lahir gerakan yang memperkuat kehidupan. []