Oleh: Marzuki Rais (Ketua Yayasan Fahmina)
Dalam dua hari terakhir, dunia maya diramaikan dengan tagar #BoikotTrans7. Tagar ini tidak muncul begitu saja. Ia lahir dari reaksi atas tayangan di Trans7 yang menggambarkan sistem di komunitas pesantren sebagai praktik feodal yang hanya memperkaya kiai. Tayangan itu jelas dibuat dari kacamata luar yang tidak memahami tradisi dan ekosistem kehidupan di pesantren. Apa yang ditampilkan di layar hanyalah potongan dangkal bahkan berlebihan yang sama sekali tidak merepresentasikan kenyataan di lapangan.
Sejak awal berdirinya, pesantren adalah lembaga pendidikan mandiri yang tidak bergantung pada pemerintah pusat, daerah, maupun pihak mana pun. Ia tumbuh dari semangat perjuangan para kiai untuk mencerdaskan umat dengan ilmu agama dan nilai-nilai keislaman. Dana yang digunakan untuk menghidupi pesantren umumnya berasal dari swadaya masyarakat dan inisiatif para kiai sendiri.
Para santri datang dari berbagai latar belakang, kebanyakan dari keluarga sederhana. Mereka membayar biaya pendidikan sesuai kemampuan; banyak pula yang menunggak berbulan-bulan. Namun pesantren tidak pernah mengusir santri hanya karena tak mampu membayar. Tak jarang, para kiai justru menanggung langsung biaya makan, pakaian, bahkan sekolah bagi santri-santri yang benar-benar tidak punya apa-apa. Semua dilakukan dengan keikhlasan dan tanggung jawab moral terhadap pendidikan generasi bangsa.
Lalu dari mana para kiai menutupi semua kebutuhan itu? Tentu dari dana pribadi, dari usaha kecil yang dijalankan, atau dari bantuan para dermawan. Jika dihitung, jumlahnya bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah setiap tahun. Namun ironisnya, tudingan yang muncul justru sebaliknya: kiai dianggap memperkaya diri sendiri.
Memang, ada kiai yang punya sarung mahal atau mobil bagus. Tapi apakah salah jika seorang kiai hidup layak selama bukan dari hasil korupsi atau eksploitasi? Miskin dihina, kaya pun dihujat. Padahal hidup mereka sehari-hari sudah dihibahkan untuk mendidik santri dan melayani masyarakat. Ketika ada wali santri yang memberikan “amplop” atau hadiah, itu bukan karena paksaan, melainkan ekspresi terima kasih dan penghormatan. Uang yang diterima pun, pada akhirnya, digunakan kembali untuk kebutuhan santri dan keberlangsungan pesantren untuk makan santri, perawatan fasilitas, atau membantu mereka yang kesulitan biaya.
Hubungan antara kiai dan santri bukan sekadar relasi guru dan murid, melainkan ikatan batin seperti orang tua dan anak. Santri tidak merasa tertekan, melainkan dilindungi dan dibimbing. Maka ketika sistem ini dihina dengan kacamata “rasionalitas” atau “HAM” versi luar pesantren, wajar jika umat pesantren merasa tersakiti. Sebab dalam sistem ini tidak ada yang dirugikan yang ada justru saling menghidupi dengan nilai keikhlasan, hormat, dan keberkahan.
Kemarahan para santri atas tayangan yang menistakan pesantren sepenuhnya bisa dimengerti. Mereka bukan sedang membela individu, tapi membela kehormatan tradisi luhur yang selama berabad-abad menjaga moral, akhlak, dan keutuhan nilai kemanusiaan bangsa ini.
Barangkali yang perlu kita pelajari dari pesantren bukan sekadar ilmunya, tetapi ruh keikhlasannya. Terbukti, pesantren turut berkontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bahkan sejak 2015, pemerintah menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional — bentuk pengakuan atas peran pesantren dalam melahirkan pejuang dan penjaga nilai-nilai kebangsaan hingga hari ini.
Di tengah dunia yang kian materialistik, pesantren tetap bertahan dengan nilai kesederhanaan, pengabdian, dan cinta tanpa pamrih. Di sana, waktu, tenaga, bahkan hidup para kiai dan santri dihibahkan untuk mencari keberkahan sesuatu yang tak bisa diukur dengan logika ekonomi, apalagi tayangan televisi.
Sebelum menilai, mungkin kita perlu lebih banyak mendengar dan memahami. Sebab tidak semua yang tampak sederhana itu miskin makna, dan tidak semua yang tampak tradisional itu tertinggal. Pesantren adalah cermin keikhlasan yang bekerja dalam diam, namun memberi cahaya bagi bangsa ini.
Dan akhirnya, dalam semangat menjaga kerukunan serta kondusifitas kehidupan berbangsa dan bernegara, kita perlu memahami: tidak semua sistem kepercayaan dan keyakinan yang berlaku di satu komunitas dapat dirasionalisasikan. Ada pengalaman yang hanya bisa dipahami dan dirasakan oleh mereka yang hidup di dalamnya. Orang luar akan sangat sulit mengerti. Maka, hormatilah sistem yang berlaku di komunitas itu. Jangan gunakan pengalaman dan keyakinan kita untuk mengukur keyakinan orang lain. []



