Oleh Marzuki Rais (Ketua Yayasan Fahmina)
“Ketika tafsir agama dipegang oleh penguasa, ia mudah berubah menjadi alat kontrol, bukan pembebasan.”
Beberapa waktu lalu, atas undangan AMAN Indonesia, saya berkesempatan berdiskusi dengan sejumlah aktivis perempuan di Malaysia dalam forum “Women’s Leadership in the Muslim World: Indonesia–Malaysia Exchange Learning” yang berlangsung pada 26–28 Oktober 2025 di Bukit Bintang, Kuala Lumpur. Dari ruang diskusi yang hangat itu, saya mulai memahami lebih dekat dinamika sosial-keagamaan di negeri jiran tersebut khususnya bagaimana negara dan agama berkelindan dalam mengatur ruang gerak perempuan.
Bagi banyak aktivis perempuan Malaysia, perjuangan mereka tidak hanya berkaitan dengan budaya patriarkis, tetapi juga harus berhadapan langsung dengan sistem negara yang memonopoli tafsir agama. Kasus yang dialami Sisters in Islam (SIS) atau SIS Forum menjadi contoh paling menonjol. Organisasi ini kerap bersinggungan dengan lembaga keagamaan resmi karena gagasan-gagasannya dianggap terlalu liberal atau menantang tafsir dominan.
Dalam sistem politik Malaysia, Islam merupakan bagian dari struktur negara. Kepala negara, Yang di-Pertuan Agong, berperan sebagai pelindung Islam di tingkat nasional, sementara di tiap negeri Sultan memegang otoritas sebagai kepala agama Islam. Di bawahnya, lembaga mufti memiliki kekuasaan besar dalam menetapkan fatwa yang bersifat mengikat dan berimplikasi langsung terhadap kebijakan publik.
Struktur seperti ini menciptakan sentralisasi tafsir agama yang kuat. Di ruang publik Malaysia, tafsir alternatif hampir tak mendapat tempat. Bahkan kalangan akademisi dan cendekiawan agama pun berhati-hati menafsirkan Islam di luar pandangan resmi negara. Dalam konteks Malaysia, Islam juga telah menjadi identitas kebangsaan—menjadi Melayu berarti menjadi Muslim. Secara fikih, Malaysia secara formal menganut mazhab Syafi’i; praktik ibadah atau pandangan fikih di luar mazhab ini hampir tidak terlihat, bahkan cenderung dilarang di ruang publik. Situasi ini membuat ruang bagi gerakan perempuan untuk membangun tafsir keagamaan yang berpihak pada kesetaraan menjadi sangat sempit.

Padahal, jika menengok sejarah Islam klasik, penggunaan agama sebagai alat legitimasi politik bukan hal baru. Pada masa Khalifah al-Ma’mun (813–833 M) dari Dinasti Abbasiyah, kekuasaan negara pernah turut mengontrol tafsir keagamaan melalui peristiwa mihnah (inkuisisi agama). Para ulama yang menolak pandangan resmi negara—terutama dalam perdebatan tentang apakah Al-Qur’an makhluk atau bukan—dipenjarakan. Imam Ahmad bin Hanbal menjadi contoh terkenal dari perlawanan terhadap intervensi negara dalam urusan iman. Sejarah ini mengingatkan kita: ketika tafsir agama dipegang oleh penguasa, ia mudah berubah menjadi alat kontrol, bukan pembebasan.
Berbeda dengan Malaysia, Indonesia memberi ruang yang lebih luas bagi penafsiran keagamaan yang kritis dan progresif. Struktur sosial dan politik yang plural memungkinkan wacana keagamaan tumbuh secara lebih demokratis. Dari pesantren hingga universitas, dari ormas keagamaan hingga lembaga masyarakat sipil, muncul banyak ruang bagi tafsir Islam yang berkeadilan gender dan humanis.
Salah satu gerakan paling menonjol adalah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang memperkenalkan Trilogi KUPI: Ma’ruf, Keadilan Hakiki, dan Mubadalah (kesalingan) sebagai pendekatan dalam membaca teks dan realitas sosial. KUPI dan jaringan lembaga seperti Fahmina, Rahima, P3M, Puan Amal Hayati, serta berbagai Pusat Studi Gender, Anak, dan Disabilitas (PSGAD) di UIN-UIN seluruh Indonesia memainkan peran penting dalam membumikan tafsir keagamaan yang berpihak pada keadilan. Mereka tidak hanya menafsirkan ulang teks, tetapi juga mengaktualisasikannya melalui pendampingan korban kekerasan, pendidikan publik, dan penguatan ulama perempuan. Dari ruang-ruang inilah lahir generasi baru penafsir Islam yang berani dan berpihak pada kemanusiaan.
Kebebasan ini tentu tidak hadir tanpa fondasi hukum yang kokoh. UUD 1945 Pasal 28E menegaskan hak setiap orang atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran, dan sikap sesuai hati nuraninya. Pasal 29 menegaskan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa serta menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya masing-masing. Prinsip-prinsip ini diperkuat oleh UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menjamin kebebasan sipil sepanjang tidak melanggar hak orang lain dan tetap dalam koridor hukum.

Inilah yang menjadikan Indonesia relatif lebih terbuka terhadap gagasan keagamaan yang beragam. Otonomi masyarakat sipil menjadi pelindung alami bagi tumbuhnya tafsir progresif yang memerdekakan. Sementara di Malaysia, keterikatan agama dengan negara justru membuat tafsir agama nyaris dimonopoli oleh otoritas resmi.
Karena itu, kerja-kerja lintas negara menjadi penting. Pengalaman Indonesia dapat menjadi inspirasi bagi gerakan perempuan di Malaysia dan negara-negara lain di dunia Islam: bahwa tafsir agama yang berpihak pada perempuan bukanlah bentuk pembangkangan, melainkan wujud keberagamaan yang otentik dan kontekstual.
Dengan ruang kebebasan yang dimilikinya, aktivis dan ulama perempuan Indonesia kini memegang peran strategis dalam diplomasi keagamaan global. Melalui KUPI dan berbagai jejaringnya, Indonesia memperkenalkan wajah Islam yang setara, dialogis, dan membebaskan—suatu model keberagamaan yang menolak menjadikan agama sebagai alat kekuasaan, melainkan sebagai sumber nilai kemanusiaan yang menegakkan keadilan bagi semua.
Dari Indonesia, suara itu terus bergema: bahwa agama sejatinya bukan untuk mengendalikan manusia, melainkan untuk memuliakannya. []



