Oleh: Dr. KH. Faqih Abdul Kodir
(Pakar Keadilan Gender Islam, Pendiri Yayasan Fahmina, MubadalahId)
Saya pertama kali bersua dengan nama Sisters in Islam (SIS) di Malaysia, saat masih bergulat dengan studi magister di Kuala Lumpur. Lupa persisnya tahun berapa, mungkin antara 1998 atau 1999. Waktu itu, saya diundang dalam sebuah diskusi tentang nasib buruh migran Indonesia tanpa dokumen resmi—lelaki dan perempuan yang membangun menara-menara kebanggaan, bekerja siang malam di proyek KLIA, digaji murah, dan ketika proyek rampung, mereka dideportasi, didenda, lalu dipulangkan dalam nestapa.
Di ruang diskusi itu, seorang wakil SIS berbicara lantang: menuntut perlakuan manusiawi, menuntut KBRI hadir membela warganya, menuntut pemerintah Malaysia berlaku adil, terutama bagi para perempuan—kisah mereka lebih berliku: menikah, hamil, membesarkan anak, menanggung beban ganda di tanah asing.
Beberapa tahun kemudian, SIS hadir mendampingi saya dalam merumuskan modul fiqh perempuan. Kami kembali bertemu dalam banyak workshop internasional, pelatihan, pertukaran pengetahuan bersama anak-anak muda Mubadalah, kunjungan ke pesantren-pesantren di Cirebon, dan terakhir saya hadir di pengajian bersama ibu-ibu ustadzah di Kuala Lumpur: para perempuan tangguh yang membela janda, ibu tunggal, perempuan miskin, hingga mereka yang menjadi korban ketidakadilan hukum.
Sejak itulah saya paham: SIS bukan sekadar organisasi. Ia adalah praktik Islam yang rahmah dan akhlak karimah; suara nalar waras, akal budi; ajaran Islam tentang keadilan—khususnya bagi perempuan yang terlantar dan mereka yang mustadh’afin.
Dalam beberapa hari ke depan, SIS akan berdiri di ruang sidang pengadilan, mempertahankan haknya untuk terus bernalar, bersuara, menafsir, dan yang terpenting: mempraktikkan agama demi membela hak-hak perempuan dan memberdayakan mereka agar hidup bermartabat secara sosial, politik, dan keagamaan. Sejak sebelas tahun lalu, ada fatwa sesat yang membayangi SIS—padahal mereka justru menghidupkan ajaran Islam tentang menolong yang lemah, mengangkat yang terpinggirkan, membela yang terinjak-injak—khususnya perempuan dan anak-anak.
Bagi saya, persidangan pada 19 Juni nanti di Mahkamah Federal Malaysia bukan sekadar urusan administratif di negeri jiran. Ini negeri yang amat berjasa bagi saya: gelar Master saya peroleh dari IIUM Malaysia. Negeri yang mengasah kepekaan saya pada yang lemah, lewat tesis saya tentang risalah zakat bagi mustadh’afin. Negeri yang mengenalkan saya pada ilmu dan amal untuk mewujudkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin dan Islam yang adil, terutama bagi kaum tertindas: perempuan dan anak-anak.
Dengan perspektif ini, bagi saya persidangan SIS adalah ujian bagi visi keadilan Islam, bagi misi akhlaknya, bagi akal sehat, kewarasan tafsir, serta upaya menegakkan maqashid syariah: mewujudkan kemaslahatan, menjaga martabat perempuan, dan menegakkan keadilan sosial. Selama puluhan tahun, SIS telah menjadi sahabat gerakan perempuan Islam di dunia, termasuk di Indonesia: mereka berjalan beriringan dengan jaringan-jaringan pesantren, ulama perempuan, akademisi, dan berbagai lembaga Islam yang sejak lama merawat tafsir agama yang rahmatan lil ‘alamin.
Jika SIS menang, yang menang adalah semangat Islam yang membela mustadh’afin: perempuan, anak-anak, kaum yang dilemahkan. Jika SIS kalah, yang kalah adalah keadilan Islam, akhlak Nabi SAW bagi perempuan lemah, akal sehat, dan nurani keadilan. Tapi bagi saya, SIS takkan pernah kalah: karena mereka berdiri di pihak kerahmatan, keadilan, dan kebenaran; berpijak pada ayat-ayat yang meneguhkan kasih sayang, keadilan, dan penghormatan terhadap martabat manusia.
Dari hati yang jauh di Indonesia, saya kirim doa, cinta, dan solidaritas. Melalui tulisan ini, saya juga mengajak seluruh jaringan KUPI, lembaga-lembaga yang pernah berkunjung atau dikunjungi oleh SIS, maupun siapa pun yang peduli akan masa depan SIS, untuk ikut mendukung dan mendoakan: demi Islam yang rahmah, ramah, adil, dan yang memperkuat hak-hak perempuan. []