Oleh: Zaenal Abidin
Bertempat di salah satu hotel di kawasan Cirebon pada Rabu–Kamis, 25–26 Juni 2025, BNPT menegaskan bahwa penyusunan Rencana Aksi Daerah Pencegahan Ekstremisme Kekerasan (RAD PE) bukan sekadar mandat pusat, melainkan kesempatan untuk membangun ketahanan lokal yang berpijak pada keselamatan manusia, keadilan, dan kearifan lokal. Pendekatan baru ini menempatkan komunitas sebagai garda depan pencegahan ekstremisme.
Di tengah kecemasan global terhadap eskalasi ekstremisme kekerasan, pendekatan negara pun perlahan berubah. Jika dulu terpusat pada penindakan hukum dan keamanan nasional, kini paradigma bergeser: keselamatan manusia menjadi inti. Hal inilah yang ditegaskan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam Workshop Integrasi dan Implementasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) dalam Kebijakan Daerah untuk Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme yang berlangsung di Cirebon pada 25–26 Juni 2025.
Kolaborasi Lintas Sektor, Untuk Daerah yang Lebih Tahan terhadap Ekstremisme
Kegiatan ini merupakan hasil kolaborasi erat antara Pemerintah Pusat dalam hal ini Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Pemerintah Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Majalengka, serta Organisasi Masyarakat Sipil, yaitu Yayasan Fahmina. Selama dua hari, para aktor dari berbagai sektor — OPD, Kesbangpol, Densus 88, tokoh lintas agama dan kepercayaan, serta organisasi perempuan — duduk bersama merumuskan arah kebijakan lokal yang inklusif.
Tujuannya jelas: mendorong percepatan penyusunan Rencana Aksi Daerah Pencegahan Ekstremisme Kekerasan (RAD PE) di Cirebon dan Majalengka. Kebijakan ini diharapkan tidak hanya menyesuaikan dengan arah nasional, tetapi juga berakar pada kebutuhan dan realitas lokal.
“Kami tidak ingin RAD PE jadi dokumen simbolik. Ia harus menjadi panduan nyata untuk semua pihak, mulai dari pemerintah desa sampai ormas,” tegas Alfrida, Analis Kebijakan Nasional BNPT.
Dari Tiga Pilar Menuju Sembilan Strategi Kemanusiaan
Fase pertama RAN PE (2020–2024) dikenal dengan tiga pilar: pencegahan, penegakan hukum, dan kerja sama internasional. Namun, fase kedua (2025–2029) mengusung pendekatan yang lebih holistik dan transformatif, dengan sembilan tema besar, yaitu:
-
Kesiapsiagaan Nasional
-
Ketahanan komunitas dan keluarga
-
Pendidikan, keterampilan masyarakat dan fasilitasi lapangan kerja
-
Perlindungan dan pemberdayaan perempuan, anak, dan pemuda
-
Media dan sistem elektronik
-
Deradikalisasi
-
HAM dan keadilan
-
Perlindungan saksi dan korban
-
Kemitraan multi-pihak
“Pendekatannya kini lebih ke arah human security. Bukan hanya menjaga negara, tetapi memastikan setiap warga aman, berdaya, dan tak rentan direkrut kelompok ekstrem,” jelas Alfrida.
RAD PE: Bukan Stigma, Tapi Instrumen Pencegahan
Dalam sesi pemaparannya, BNPT menekankan bahwa penyusunan RAD PE tidak seharusnya ditanggapi dengan ketakutan atau kekhawatiran akan stigma daerah. Sebaliknya, RAD PE adalah peluang membangun sistem pencegahan yang berkelanjutan dan inklusif.
Alfrida mencontohkan Provinsi Jawa Barat yang telah lebih dahulu menerbitkan Peraturan Gubernur No. 40 Tahun 2022 tentang RAD PE. Beberapa kota/kabupaten seperti Bandung, Purwakarta, dan Bogor pun mulai mengimplementasikannya. Bahkan, lima dari sepuluh kota paling toleran di Indonesia versi Setara Institute tercatat memiliki RAD PE.
“Kalau Kabupaten Cirebon dan Majalengka ingin masuk ke peringkat kota toleran, maka menyusun RAD PE adalah langkah strategis dan konkret,” katanya.
Dipantau Langsung Istana dan Masuk RPJMN
Lebih lanjut, Alfrida mengungkap bahwa RAN PE fase kedua kini menjadi program prioritas nasional. Ia telah masuk dalam RPJMN 2025–2029, dianggarkan dalam RAPBN 2025, dan dipantau langsung oleh Kantor Staf Presiden (KSP).
“Awal tahun ini kami dipanggil KSP. Ternyata Presiden memberi atensi khusus pada pengesahan RAN PE. Bahkan kami sedang siapkan Perpres baru yang diharapkan rampung September 2025,” ungkapnya.
BNPT telah melakukan konsultasi publik dan koordinasi lintas kementerian/lembaga. Salah satu dorongan kuatnya adalah memastikan semua pemda memiliki mandat dan kemampuan menyusun RAD PE yang adaptif dan partisipatif.
Hak Asasi dan Kesetaraan Gender Tetap Jadi Fondasi
Meski lahir dari kebutuhan keamanan, RAN PE tetap mengusung prinsip hak asasi manusia, kesetaraan gender, dan pelibatan masyarakat.
“Kami tidak ingin lagi pendekatan yang maskulin dan represif. Mitra masyarakat sipil seperti Fahmina dan Fatayat sudah membuktikan pentingnya kerja-kerja yang berbasis akar rumput dan perspektif gender,” ujar Alfrida.
Dengan keberadaan Yayasan Fahmina sebagai mitra lokal yang telah bergerak selama 25 tahun di isu toleransi dan keadilan gender, proses penyusunan RAD PE di Cirebon dan Majalengka kini punya harapan kuat untuk menjadi contoh praktik baik. []