Oleh: Zahra Amin (Direktur mubadalah.id)
Saya mengawali catatan singkat kegiatan selama di Tulungagung ini dengan quote yang sangat indah sekali dari Martin Luther King Jr.:
“Kegelapan tidak bisa mengusir kegelapan; hanya cahaya yang bisa melakukannya. Kebencian tidak bisa mengusir kebencian; hanya kasih yang bisa melakukannya.”
Kalimat ini menjadi pemantik asa yang menyatukan kami semua di aula Pascasarjana UIN Sayyid Ali Rahmatullah (UIN Satu) Tulungagung. Kami berkomitmen mewujudkan kampus yang ramah difabel dan Tulungagung tanpa stigma.
Selama dua hari, Senin–Selasa, 22–23 September 2025, Yayasan Fahmina dan Media Mubadalah bekerja sama dengan LP2M UIN Satu Tulungagung menggelar kegiatan studium generale bertajuk “Peran Ulama Perempuan dalam Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas.” Acara ini dilanjutkan dengan konsolidasi ulama perempuan lokal Tulungagung. Secara terpisah, Media Mubadalah juga mengadakan pelatihan kepenulisan artikel populer dan konten kreatif dengan isu disabilitas.
Tidak hanya melibatkan mahasiswa, kami juga menghadirkan teman-teman difabel untuk berpartisipasi aktif. Karena keterbatasan, sementara ini baru ragam disabilitas daksa yang bisa ikut serta. Namun, langkah kecil ini membuka jalan untuk bersama-sama menemu kenali kebutuhan penyandang disabilitas di Tulungagung dan sekitarnya.
Mungkin apa yang kami lakukan belum seberapa, tapi saya merasa senang, haru, sekaligus bangga melihat antusiasme peserta. Baik saat studium generale, konsolidasi ulama perempuan, maupun pelatihan kepenulisan Mubadalah, semangat itu terasa nyata. Isna, Tegar, dan seorang peserta perempuan dari kelas konten kreatif menyampaikan pesan dan kesan mereka. Dengan jujur mereka mengatakan bahwa kegiatan ini membuat mereka lebih aware terhadap isu disabilitas, serta melatih empati untuk tahu bagaimana memperlakukan teman-teman difabel.
Salah satu momen paling menggetarkan adalah ketika Tegar, seorang peserta difabel, mencoba menyampaikan rasa terima kasih. Ia terbata-bata, suaranya lirih, namun penuh ketulusan. “Terima kasih atas penerimaan dan kesempatan ini,” ucapnya. Saya tercekat, terdiam, dan menahan haru. Betapa minimnya akses dan kesempatan bagi difabel untuk belajar dan bekerja bersama kita. Rasanya sungguh tidak adil jika kita masih membeda-bedakan perlakuan hanya karena hambatan fisik dan sosial yang mereka alami.
Ada pula kisah Natalia, peserta difabel perempuan yang masih duduk di bangku SMA di SLB Muhammadiyah Jombang. Ia menuliskan pengalaman pahitnya saat dibully di SD karena tidak bisa berjalan dengan baik dan harus menggunakan alat bantu. Saya tidak sanggup membaca tulisannya sampai habis. Betapa berat beban yang ia pikul sejak kecil. Namun Natalia mampu bertahan hingga hari ini, menuliskan kisahnya dengan keberanian luar biasa. Saya hanya bisa berkata padanya: “Kamu hebat. Teruslah menulis, agar dunia tahu ketidakadilan yang masih dialami teman-teman difabel, terutama perempuan difabel yang menghadapi ketidakadilan berlapis sebagai kelompok rentan.”
Ini baru satu-dua cerita. Masih banyak kisah lain yang bisa digali. Harapan saya, komunitas dan jaringan ulama perempuan di Tulungagung terus menyuarakan isu disabilitas ini. Sebagaimana pesan Martin Luther King Jr. di atas, kegelapan hanya bisa diusir dengan cahaya, kebencian hanya bisa dilawan dengan kasih.
Terima kasih saya sampaikan kepada segenap sivitas akademika UIN Satu Tulungagung, LP2M, Ibu Lailatuzz Zuhriyah, Mbak Nyai Arifah Millati, Mbak Nyai Halimatus Sa’diyah RFP, serta seluruh panitia dan peserta. Wa bil khusus kepada KH. Marzuki Rais (Ketua Yayasan Fahmina), Mbak Roziqoh Sukardi (Sekretaris Yayasan Fahmina), Ibu Nyai Nur Rofiah (MM KUPI), Ibu Fatimah Asri (Komisi Nasional Disabilitas), dan Ibu Umy Zahro (PSGAD UIN Satu) yang menjadi narasumber studium generale.
Semoga Gusti Allah senantiasa merahmati langkah kita semua, untuk terus bergerak mewujudkan peradaban kemanusiaan yang berkeadilan. []