Oleh: Zaenal Abidin
Apakah penyandang disabilitas mengalami siklus hidup yang sama seperti orang tanpa disabilitas? Pertanyaan ini menjadi pembuka reflektif dalam diskusi yang diadakan oleh Yayasan Fahmina pada Jumat, 20 Juni 2025 secara daring. Dalam pertemuan ini, para peserta mendalami bagaimana disabilitas memengaruhi jalannya kehidupan, sejak masa kanak-kanak hingga lansia.
Nurul Saadah, narasumber utama yang juga aktivis pendamping kelompok disabilitas, menjelaskan bahwa tantangan penyandang disabilitas tidak hanya berasal dari keterbatasan tubuh, melainkan dari lingkungan sosial, budaya, dan sistem kebijakan yang belum inklusif.
Ia menjelaskan klasifikasi disabilitas: fisik, intelektual, mental, sensorik, dan ganda. Masing-masing memiliki karakteristik dan tantangan spesifik. Misalnya, seseorang dengan disabilitas fisik mungkin tidak bisa berjalan tanpa alat bantu, sementara disabilitas intelektual memengaruhi kecepatan berpikir dan belajar. Disabilitas mental melibatkan hambatan dalam mengelola emosi dan interaksi sosial, sementara disabilitas sensorik berkaitan dengan fungsi pancaindra seperti penglihatan, pendengaran, atau bicara.
“Saya sendiri penyandang disabilitas. Saya menggunakan tongkat untuk berjalan. Tapi yang lebih berat bukan tongkat itu, melainkan pandangan masyarakat dan sistem yang membatasi saya untuk hidup mandiri,” ungkap Nurul.
Ia menambahkan bahwa tantangan siklus hidup penyandang disabilitas dapat berlapis, seperti kombinasi hambatan dari keluarga, lingkungan sosial, fasilitas publik, hingga sistem kebijakan. Seorang anak dengan kebutuhan khusus, misalnya, bisa jadi tak bersekolah bukan karena tidak mampu, melainkan karena tidak adanya guru pendamping khusus, atau karena keluarganya merasa malu.
Siklus hidup ini pun sering kali tidak linier. Seseorang bisa mengalami gangguan perkembangan saat dewasa, atau tiba-tiba menjadi penyandang disabilitas karena kecelakaan atau sakit stroke.
“Kami melihat hal ini saat gempa Jogja 2006. Banyak penyintas yang harus menjalani terapi bertahun-tahun. Sebagian bisa pulih, tapi sebagian lain menjadi penyandang disabilitas permanen,” jelas Nurul.
Diskusi makin hidup ketika peserta, Erik S. Rahmawati, membagikan pengalamannya sebagai penyintas kejang dan pendarahan otak.
“Siklus hidup saya mundur. Saya sulit menangkap informasi seperti orang lain. Jadi secara psikis dan kedewasaan, saya berbeda,” katanya jujur.
Sementara itu, Halimatus, seorang ibu dari dua anak yang bersekolah di sekolah inklusi, mengisahkan pengalaman inspiratifnya. Menurutnya, anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan inklusif memiliki empati dan kesadaran sosial yang lebih tinggi.
“Saya bersyukur mereka punya kesempatan tumbuh bersama teman-teman disabilitas. Itu membentuk karakter dan kepedulian,” ujarnya.
Halimatus juga mengelola lembaga pendidikan yang terbuka bagi santri dengan disabilitas. Ia mengingat momen ketika pertama kali mendapati seorang santri memberi salam dengan tangan kiri. “Awalnya saya tidak berani bertanya, lalu saya sadar tangannya yang kanan tidak ada. Sejak itu saya lebih peka dan berusaha menyesuaikan perlakuan.”
Konstruksi sosial yang membatasi penyandang disabilitas tak jarang datang dari hal-hal kecil: larangan keluar rumah, stigma tidak layak sekolah, atau anggapan bahwa mereka beban. Belum lagi tantangan dalam kebijakan publik. Banyak sekolah inklusi masih membebankan biaya guru pendamping kepada orang tua. Fasilitas umum belum ramah akses, dan dukungan kesehatan mental masih sangat minim.
Nurul Saadah mengingatkan, dalam satu fase kehidupan, penyandang disabilitas bisa menghadapi empat hingga lima hambatan sekaligus: biologis, sosial, kultural, kebijakan, dan ekonomi.
Forum ini mengajak peserta untuk tidak hanya memahami ragam disabilitas, tetapi juga menyadari bahwa mereka adalah bagian utuh dari masyarakat. Bukan objek belas kasihan, tapi subjek yang punya keinginan, potensi, dan hak yang harus dihormati.
Hidup itu akan indah jika bisa saling mengisi kebutuhan. Kita belajar menerima, dan mereka pun mengajarkan kita untuk menjadi manusia yang lebih utuh. []