Lembaga:

Dukung kami dengan donasi melalui Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58 a.n. Yayasan Fahmina

Damai Bukan Berarti Aman: Merawat Kesiapsiagaan Nasional dengan Nilai-Nilai Pancasila

Menggali urgensi kesiapsiagaan ideologis dan digital di tengah masa damai, dengan Pancasila sebagai peta jalan ketahanan nasional.

Oleh: Muhammad Nashrul Abdillah*

Ketika mendengar kata damai, yang terlintas dalam benak saya adalah situasi tanpa konflik atau kekerasan. Itulah yang tampaknya terjadi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir—relatif tenang, tanpa serangan teror besar. Namun, ketenangan ini justru menyimpan potensi bahaya. Rasa aman yang berlebihan bisa menumpulkan kewaspadaan nasional. Padahal, ancaman tidak selalu berbentuk serangan fisik. Di era teknologi dan digital seperti sekarang, ancaman dapat muncul secara tersembunyi melalui infiltrasi ideologi radikal, propaganda daring, dan serangan siber.

Inilah momen penting bagi Indonesia untuk memperkuat sistem pertahanan nasional, terutama melalui penguatan ideologis. Pancasila, dalam konteks ini, bukan sekadar ideologi negara, tetapi juga pedoman strategis untuk membangun kesiapsiagaan nasional terhadap ancaman dari dalam dan luar.

Ancaman di Balik Keheningan

Ketiadaan serangan fisik memang menenangkan, namun juga bisa menipu. Ancaman saat ini berkamuflase melalui teknologi digital—berbentuk propaganda transnasional, konten ekstrem di media sosial, hingga serangan siber. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mencatat pentingnya literasi digital untuk menangkal radikalisasi, terutama bagi generasi muda.

Data menunjukkan bahwa pada paruh pertama 2024 terjadi lebih dari 2,4 miliar serangan siber. Dunia maya kini menjadi ladang subur bagi penyebaran ajaran radikal. Ketika kita mengira ancaman telah berlalu, sesungguhnya celah besar tengah terbuka. Maka muncul pertanyaan penting: bagaimana menjaga kesiapsiagaan dalam suasana damai ini?

Kesiapsiagaan sebagai Tanggung Jawab Bersama

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kesiapsiagaan adalah keadaan siaga atau kesiapan menghadapi peristiwa tertentu. Dalam konteks ini, kesiapsiagaan berarti keterlibatan seluruh elemen bangsa—pemerintah, aparat hukum, komunitas, dan masyarakat sipil—dalam menyikapi potensi ancaman. Ini mencakup penguatan intelijen, militer, kepolisian, sistem pendidikan, serta peningkatan kesadaran publik.

Namun, upaya ini tidak cukup jika hanya bersifat reaktif. Kita juga membutuhkan daya tangkal: ketahanan yang bersifat preventif dan melibatkan dimensi ideologis, sosial, ekonomi, budaya, hingga teknologi. Masyarakat dengan literasi digital yang baik dan kesadaran kebangsaan yang kuat adalah garda terdepan pertahanan Indonesia.

Dunia Digital dan Radikalisasi Baru

Ancaman kini tidak lagi datang dalam bentuk serangan fisik semata. Radikalisasi telah bermigrasi ke ruang digital. Forum-forum tertutup dan algoritma media sosial kini digunakan untuk menyebarkan kebencian dan paham ekstrem. Seperti yang dicatat BNPT, terorisme telah bertransformasi secara digital. Oleh karena itu, kita membutuhkan literasi ideologis sebagai bekal melawan ancaman yang tak kasatmata ini.

Pancasila harus difungsikan sebagai benteng ideologis, bukan hanya simbol moral, tetapi sebagai strategi untuk menjaga nalar publik. Dalam konteks pertempuran algoritmik ini, Pancasila adalah perisai sekaligus kompas kebangsaan.

Pancasila sebagai Strategi Pertahanan

Setiap sila dalam Pancasila dapat dioperasionalkan sebagai instrumen strategis:

  1. Ketuhanan Yang Maha Esa
    Menjadi dasar dalam menghadapi penyimpangan tafsir agama. Spiritualitas inklusif dan toleransi adalah antivirus terhadap radikalisme keagamaan. Pendidikan keagamaan yang pluralis, sebagaimana ditegaskan PPIM UIN Jakarta (2023), merupakan benteng awal menghadapi ekstremisme.

  2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
    Menolak penggunaan manusia sebagai alat propaganda. Sila ini menjadi tameng terhadap narasi kebencian, polarisasi, dan disinformasi yang digunakan kelompok ekstrem.

  3. Persatuan Indonesia
    Merupakan penangkal disintegrasi bangsa akibat polarisasi sosial-politik. Saat ruang digital dipenuhi ujaran kebencian dan provokasi politik, sila ketiga menjadi perekat bangsa.

  4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
    Mendorong demokrasi partisipatif sebagai mekanisme deteksi dini terhadap narasi menyimpang. Partisipasi warga negara bukan hanya hak, tetapi juga bentuk kesiapsiagaan sipil.

  5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
    Ketimpangan dan ketidakadilan adalah pupuk subur radikalisme. Keadilan sosial memastikan bahwa seluruh warga merasa dimiliki negara. Laporan UNDP (2024) menegaskan bahwa daerah dengan akses ekonomi terbatas lebih rentan terhadap perekrutan teroris.

Siaga dalam Damai

Masa damai yang sedang kita nikmati bukan alasan untuk lengah. Justru ini adalah alarm untuk meningkatkan kewaspadaan. Dalam situasi tenang, bangsa harus memperkuat pondasi ideologinya.

Pancasila hadir sebagai landasan terbuka dan adaptif untuk memperkuat kesiapsiagaan nasional, sekaligus berkontribusi pada perdamaian global. Melalui pendidikan, partisipasi publik, dan sinergi negara–masyarakat, Indonesia bisa menjadi model keamanan nasional berbasis nilai universal.

Dengan mengukuhkan Pancasila sebagai perangkat strategis, Indonesia bukan hanya siap menghadapi ancaman, tapi juga dapat menjadi teladan dunia dalam merawat perdamaian dengan kewaspadaan yang sadar dan terukur. []

*Penulis merupakan pemuda Lingkar Fahmin akatif dalam Komuntas Forum Komunikasi Lintas Iman atau Forkolim Remaja Ciledug.

Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58 a.n. Yayasan Fahmina

Terkait

Bukan Pedang tapi Pelukan: Dakwah Nusantara Merawat Moderasi di Tengah Radikalisasi Virtual

Oleh: Muhammad Nashrul Abdillah "Di tengah radikalisasi virtual, yang kita butuhkan bukan pedang, melainkan pelukan yang meneduhkan." Keseimbangan antara nilai universal...

Populer

Artikel Lainnya