Oleh: Tho’ah Ja’far*
“Isun sih ilmue setitik, tapi insyaallah tek lakoni.”
(Meski ilmu saya sedikit, tapi insyaallah saya amalkan.)
— Nyai Afifah Harun
Kalimat itu terdengar dalam sebuah percakapan kecil di ruang tamu. Saat seseorang bicara terlalu lantang—entah karena semangat atau sekadar unjuk diri—Nyai Afifah menyela dengan lembut.
Tak ada nada tinggi. Tak ada teguran keras. Hanya sepenggal kalimat lirih yang tampak ditujukan untuk dirinya sendiri. Namun justru dari kerendahan itulah daya sentaknya muncul.
Peristiwa itu membekas, bukan karena momen dramatis, tetapi karena kejernihan sikap. Kalimatnya pendek, tapi menyentuh hingga ke hati. Dawuhnya menyadarkan, bukan menyudutkan.
Kalimat itu tidak lahir dari ruang kosong. Ia tumbuh dari pribadi yang terlatih dalam menimbang, dan terbiasa menundukkan ego. Sosok yang ucapannya bukan hasil bacaan semata, melainkan buah penghayatan panjang.
Siapa Nyai Afifah?
Nama lengkapnya, Ny. Hj. Afifah binti KH. Harun Abdul Jalil, lahir dari keluarga pendiri Pondok Pesantren Kempek, Cirebon—salah satu pesantren tertua di Jawa Barat. Ayahnya, KH. Harun, dikenal luas sebagai ulama disegani.
Kemudian beliau menjadi istri KH. Aqil Siroj, tokoh sentral Pesantren Kempek. Namun Nyai Afifah bukan hanya dikenal sebagai “istri dari” atau “anak siapa.” Ia adalah figur tersendiri—lembut, rendah hati, sabar, dan lebih memilih mengayomi daripada memerintah.
Tak banyak tulisannya yang terdokumentasi, namun setiap sikapnya adalah pelajaran terbuka. Suaranya datar, tapi menyejukkan. Tamu-tamu yang hadir di rumah itu pun tahu, bahwa aura penghormatan lahir dari ketenangan yang beliau pancarkan.
Ilmu Bukan untuk Meninggi
Kutipan beliau mencerminkan satu maqam luhur dalam dunia ilmu: keinsafan diri. Bahwa ilmu sekecil apa pun yang diamalkan, akan melahirkan kekuatan dan keberkahan. Sebaliknya, ilmu tanpa amal hanya menjadi beban.
Nabi Muhammad Saw bersabda:
“Barang siapa yang mengamalkan ilmu yang telah diketahuinya, maka Allah akan memberikan ilmu yang belum diketahuinya.”
(HR. Abu Nuaim)
Dalam tradisi pesantren, itulah yang disebut sebagai futuh—terbukanya cahaya dari keikhlasan menjalani ilmu. Mereka yang rendah hati dalam ilmu, akan dijaga adabnya. Sebaliknya, yang menyombongkan ilmunya, akan kehilangan akarnya.
Imam Ibnu Athaillah berkata:
“Ilmu bermanfaat adalah yang cahayanya memancar ke dalam dada, dan yang dengannya tersingkap selubung yang menutupi hati.”
Tak Butuh Panggung, Tak Mencari Sorot Kamera
Nyai Afifah bukan sosok yang haus validasi. Tapi justru dari keheningan itulah sinarnya menjalar. Ilmunya tidak menonjolkan diri, tapi justru menetap di hati orang-orang yang pernah bertemu dengannya.
Kata-katanya tetap relevan di tengah dunia yang penuh suara meninggi dan wajah berseri di balik kamera. Di antara banyak yang bicara, siapa yang sungguh mengamalkan?
Beliau hadir bukan untuk menghakimi, tapi menjadi cermin. Mengingatkan bahwa diam bukan berarti tak tahu. Bahwa suara lembut bukan tanda kelemahan. Dan bahwa ilmu sejati sering tersembunyi di balik tubuh renta, wajah menua, dan suara pelan.
Jika pesantren adalah taman cahaya, maka Nyai Afifah adalah bunga yang mekar tanpa suara. Ia tidak berdiri di podium, tapi duduk di tengah keluarga dan tamu, memberikan makna dalam keheningan.
Warisan yang Tak Lekang
Dari satu kalimat singkat, santri-santrinya belajar banyak hal—tentang menjalani ilmu, menjaga adab, dan menjadi manusia yang tidak hanya pintar, tetapi juga bening.
Warisan beliau bukan dalam bentuk buku, melainkan dalam teladan dan hikmah. Dan mungkin, di antara warisan paling abadi adalah dawuhnya yang menyentuh itu:
“Isun sih ilmue setitik, tapi insyaallah tek lakoni.”
Kalimat yang tidak hanya meruntuhkan kesombongan, tapi juga membangunkan kesadaran. Bahwa bukan banyaknya ilmu yang menyelamatkan, melainkan kesungguhan untuk mengamalkan.
Dan dari titik kecil itulah, jalan menuju Allah terbuka luas.
Wallahu a’lam bis-shawab. []
*Penulis merupakan Ualama Perempuan Lingkar Fahmina, Pengasuh Pondok Pesantren Khas Kempek Cirebon.